Wawancara Bagian 2
Ketua Indonesian Life Cycle Assesment Network (ILCAN)
Dr. Kiman Siregar
“Pemanasan Global Ini Nyata Kita Rasakan”
--------------------------
Fenomena bencana alam mulai melanda sejumlah kawasan. Banjir besar terjadi di India dan Cina, kebakaran hutan dan lahan mulai melanda wilayah Kanada dan Amerika Serikat (AS). Banjir juga menerjang sejumlah negara maju di Eropa. Perubahan iklim dan pemanasan global (global warming) terjadi lebih cepat dari perkiraan. Bencana ekologis ini muncul saat pemimpin dunia bersiap menuju Konferensi Perubahan Iklim PBB di Glasgow, Skotlandia November mendatang.
Karena itu, kelompok negara G-20 dan sejumlah negara maju mulai menyusun langkah mitigasi bencana akibat perubahan iklim. Langkah ini berkesesuaian dengan Perjanjian Paris pada 2015. Laporan IPCC (Intergovernmental Panel Climate Change) menyinggung, kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius akan berakibat pada punahnya terumbu karang. Kenaikan suhu bumi sebesar 1,5 derajat Celcius diperkirakan terjadi pada 2040 akibat penggunaan bahan bakar fosil dan kebakaran hutan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam pertemuan Capital Market Summit, akhir Juli lalu, menyebut perubahan iklim menjadi bencana global yang dampaknya akan menyamai pandemi Covid-19. Oleh karenanya, diperlukan kesiapan dari pendanaan hingga langkah kebijakan untuk menanganinya. Kondisi tersebut jelas tidak mudah karena menuntut ketaatan dan kepatuhan dari semua pihak menjalankan bisnis hijau atau industri yang berwawasan lingkungan. Beberapa pelaku usaha besar di Indonesia bergerak di sektor industri kelapa sawit, pertambangan, dan migas yang diklaim menyumbang dampak terbesar terhadap emisi karbon.
Indonesian Life Cycle Assesment Network (ILCAN) merupakan perkumpulan atau asosiasi yang didirikan pada 17 Desember 2014. Perkumpulan ini melibatkan think thank sejumlah dosen perguruan tinggi dan peneliti dari lembaga riset. ILCAN bertujuan menjadi network LCA di tingkat nasional yang berfungsi mempromosikan penerapan Life Cycle Assesment berwawasan lingkungan di Indonesia. Sebuah metode yang kini menjadi trendsetter karena menerapkan pedoman dan standar perilaku bisnis perusahaan yang berorientasi lingkungan. Wartawan Gatra Andhika Dinata berkesempatan mewawancarai Ketua ILCAN, Dr. Kiman Siregar di Kantor ILCAN, Dramaga, Jawa Barat pada Selasa (10/8). Berikut petikan wawancara dengan Dosen Pasca Sarjana, Program Studi Lingkungan, Kampus IPB tersebut:
Indonesia punya target penurunan emisi 29% mandiri dan 41% lewat dukungan internasional pada 2030. Sejauh ini berapa pencapaian eksisting?
Sebetulnya real-nya kita kan enggak tahu. Makanya kita bilang, saya sebenarnya sering sampaikan juga ke pihak pemerintah. Kita kan sekarang mau menurunkan 29% di 2030, kan kalau menurunkan, kan kita harus tahu sekarang kita [posisi] berapa. Karena belum ada database-nya, makanya melalui Permen LHK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, atau dikenal dengan PROPER ini sudah masuk tahun ini jadi mandatori. Di dalamnya itu sudah masuk kriteria tentang Life Cycle Assesment (LCA). Mulai berlaku per Februari 2021 kemarin. Jadi nanti lah melalui Dirjen PPKL (Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan) di KLHK. Nanti kita akan mengumpulkan database. Kalau udah ada ini, baru kita bicara data.
Konkretnya seperti apa?
Misalnya kelapa sawit, sebelum dia menerapkan atau melakukan inovasi terhadap perubahan dampak lingkungan, kita hitung dulu. Sebelum dia Metan Capture, GWP (Global Warming Potential) dia misalnya 2 kg CO2 ekivalen biodiesel yang dihasilkan. LC ini kan kita menentukan hotspot. Jadi, mulai dari pembukaan lahan, pembibitan, penanaman, pemanenan, pabrik kelapa sawit, biodiesel, sampai SPBU segala macam. Dihitung lewat LCA, ketemu di mana hotspot-nya, di mana dampak yang paling besar. Misalnya Pabrik Kelapa Sawit, akibat apa, akibat ada limbah cair. Terus limbah cair itu saya capture sekarang, saya tidak buang lagi CH4 itu ke alam. Transportasi misalnya, saya rubah, PKS saya pindahkan dekat dengan lahan, terus pabrik biodiesel saya dekatkan dengan pabrik kelapa sawit. Kelapa sawit itu kalau kita bawa, rendemennya itu kan rata-rata 21-25%. Atau kita anggap 25%, berarti 75% sebenarnya waste kalau enggak kita apa-apain. Yang kita angkut kan sampah, sementara [penggunaan] solarnya kan tinggi. Saya sering sampaikan, kalau di kebun itu yang dibawa CPO sebenarnya lebih hemat dari BBM nya. Itu kan istilahnya, akan bagus. Output dari LC itu adalah Continous Improvement. Ribuan kan perusahaan PROPER, sekarang industri Pertamina sudah mulai LCA, industri ketenagalistrikan, batubara, industri semen, industri pertanian, kelapa sawit, semua industri ini melakukan customer goods. Kemudian, baru muncul data. Makanya Paris Agreement ini ditandatangani SBY pada 2015. Kita harus berhitung dari dasar. Saya berharap dengan LCA ini masuk, pemerintah sudah punya data itu. Berapa CO2 ekivalen yang dihasilkan dari produksi air mineral, masing-masing industri kita tabulasi, pabrik kelapa sawit aja sekarang kita sudah punya sekitar 1.000-an. Jadi tinggal dikumpulin, baru kita punya data, dan setiap tahun, berapa penurunannya, itulah kemampuan kita.
Baca juga: Bagian I, Life Cycle Assesment Solusi Industri Hijau Berkelanjutan
Data dari FLCC mengatakan terjadi peningkatan iklim 1,5 derajat Celcius pada 2040. Dampaknya seperti apa buat Indonesia?
Yang jelas, akibat kenaikan panas permukaan air juga pasti naik. Kedua, iklim enggak menentu. Kita hidup jadi enggak normal, kita bertani juga tak tentu. Saya kira itu dampaknya pasti ke kehidupan. Makanya, di LC itu end of impacts atau dampak akhirnya itu ke Human Health, Ecosystem, dan Resources. Bisa saja dengan kenaikan suhu, akhirnya penggunaan AC menjadi berlebih. Pembangunan itu kita berpikir SDG’s-nya, tidak sekadar ekonominya. Makanya kita selalu beririsan: economy, empowerment, social, ini memang harus berimbang. Jadi, LCA ini dia bisa memunculkan angka-angka itu. Ini yang bisa dikontrol oleh pemerintah atau regulator. Perusahaan PROPER ini wajib berhitung dampak terhadap penurunan emisi, energi, penggunaan beban dan pencemaran air, limbah B3, dan limbah non B3. Dia harus based on kalkulasi Life Cycle Assesment. Dengan seperti itu, perusahaan enggak bisa lagi dia tipu-tipu, karena ada hitungannya.
Bagaimana dengan penerapan pajak karbon bagi korporasi?
Itu sebenarnya menarik. Menurut saya seharusnya pemerintah Indonesia mengejar itu. Jadi, International Carbon Certificate (ICC), prinsipnya sederhana, saya melakukan inovasi, saya mampu menurunkan dampak lingkungan CO2 itu disertifikat oleh ICC, baru masuk ke pasar karbon. Harusnya kita mengurusin itu.
Implikasi penanganan lingkungan tidak terlalu tampak padahal dananya triliunan..
Itu yang masih kita rasakan. Kalau kita "pretelin" pasti semua kena kan. Tapi memang yang kita perlukan teladan. Saya dulu kan S3 sebagiannya di Jepang, di sana itu, profesor aja naik sepeda ke kampus, masak kita muridnya saja enggak naik sepeda. Terus kemana-mana orang jalan kaki. Tapi masyarakat juga enggak melihat teladan, saya melihat dulu JK, sekarang Pak Jokowi juga sedikit banyaknya melakukan itu. Kita pakai batik, pakai baju putih, enggak perlu jas. Sehingga uangnya mau banyak tapi enggak terlihat hasilnya.
Apakah masih relevan bicara penanganan perubahan iklim di masa pandemi ini?
Kekebalan kita ini juga akibat alam yang telah rusak. Bisa saja virus ini sudah ada dari dulu. Cuma orang dulu kan kebal. Sekarang kan alam dirusak, mungkin kita juga menghirup oksigen juga kurang. Jadi tubuh kita rentan. Kekebalan tubuh kita berkurang karena alam ini dirusak. Memang harus jalan ini program. Kalau pendanaan ini kan tidak mesti menggelontorkan dana, bisa kampanye dan lain-lain. Misalnya, sampah dipisahkan pembuangannya.
**