Jakarta, Gatra.com – Organisasi Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menilai penerapan Regional Plan of Action (RPOA) hingga kini belum berhasil memerangi dan menurunkan praktik Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUUF) di perairan yang menjadi fokus kerja sama.
Koordinator Nasional DFW Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengatakan hal itu dapat dilihat dari masih maraknya praktik IUUF yang dilakukan oleh kapal berbendera negara anggota RPOA.
Menurutnya, belum ada aksi yang signifikan dan substantif membasmi IUUF di level regional.
“Laut China Selatan, termasuk Laut Natuna Utara sudah bertahun-tahun menjadi hot spot IUUF oleh negara anggota yang menyepakati RPOA. Tetapi, tidak ada aksi nyata bersama di wilayah tersebut,” kata Abdi dalam keterangannya, Kamis (12/8).
Abdi berpendapat, ruang lingkup kerja sama dan kesepakatan RPOA-IUUF yang luas semestinya mampu menyelesaikan banyak masalah perikanan yang terjadi. Apalagi, komitmen tersebut telah berjalan selama 14 tahun.
Pada 2007, sebanyak sebelah negara membangun komitmen bersama untuk memberantas pencurian ikan. Kerja sama regional itu melibatkan Indonesia, Singapura, Thailand, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Australia.
“Padahal, kerja sama ini diharapkan jadi role model internasional mengenai upaya negara-negara kawasan yang terhubung dan memiliki perairan strategis, dapat menjaga lautnya dari kejahatan transnasional yang makin meningkat,” tambahnya.
Abdi mengingatkan bahwa kejahatan IUUF berkaitan erat dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi pada awak kapal perikanan. Selain itu, juga kerap ditemukan praktik kerja paksa dan perdagangan orang.
“Pada 2020, DFW Indonesia menerima laporan mengenai kapal Tiongkok yang terindikasi melakukan kegiatan penangkapan ilegal. Kapal tersebut tidak mengaktifkan AIS [Automatic Identification System], serta mempekerjakan ABK Indonesia korban perdagangan orang yang berangkat dan naik kapal dari Singapura,” ungkapnya.
Abdi menambahkan, kejadian itu menunjukkan dimensi kejahatan IUUF bisa begitu luas. Karena itu, harus diantisipasi dalam strategi dan pelaksanaan RPOA-IUUF.
“Kita juga perlu menilik kerawanan di Arafura dan Laut Timor yang melibatkan kapal ikan Indonesia. Ironisnya pada sub regional ini, kapal Indonesia menjadi pelaku IUU yang melakukan penangkapan ikan di wilayah Australia dan Papua Nugini,” katanya.