Home Milenial Sekolah Online Bikin Sedih Siswa, Pandemi Mestinya Jadi Titik Balik Pembaruan Pendidikan

Sekolah Online Bikin Sedih Siswa, Pandemi Mestinya Jadi Titik Balik Pembaruan Pendidikan

Sleman, Gatra.com – Pendidikan jarak jauh selama pandemi Covid-19 membebani dan memicu emosi negatif siswa. Pandemi harus jadi titik balik pembaharuan pendidikan.

Hal itu mengemuka dalam survei gelaran Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) terhadap 1.263 siswa dari jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Penggagas GSM Muhammad Nur Rizal menunjukkan, emosi negatif mendominasi siswa saat menjalani sekolah online. Emosi negatif itu antara lain sedih, bosan, stres, bingung, dan kurang semangat.

Dari 553 siswa SD/MI, 445 siswa SMP/MTS, dan 265 siswa SMA/SMK/MA, emosi negatif itu dirasakan 57 persen siswa SD-SMP dan 70 persen siswa SMA.

Menurutnya, semakin tinggi jenjang pendidikan, gap antara emosi positif dan negatif semakin lebar Tugas dari guru bukan meningkatkan kompetensi belajar, tapi malah menjadi beban.

“Emosi negatif juga menduduki peringkat pertama hal yang dirasakan terhadap tugas-tugas dari guru selama pembelajaran jarak jauh,” kata Rizal saat jumpa pers daring dari kantor GSM di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (10/8).

Sebanyak 51-66 persen siswa meraakan emosi negative saat mendapat tugas. Namun hanya 2-4 persen siswa yang menilai tugas itu memotivasi belajar saat sekolah daring.

“Hal ini mengakibatkan anak merasa tidak senang dengan belajar. Merasa tidak ada keinginan belajar dan tidak produktif dalam belajar. Padahal semakin dewasa, kebutuhan kemandirian dan otonomi belajar semakin tinggi,”paparnya.

Menurut Rizal, kesulitan belajar daring menempati posisi tertinggi di ketiga jenjang pendidikan, yakni pada 63-69 persen siswa, disusul oleh masalah jaringan dan perasaan demotivasi.

“Tapi belum ada fokus pemerintah untuk menangani masalah kesulitan belajar dan demotivasi sebagai permasalahan mendasar di pendidikan sejak sebelum pandemi. Selama ini, pemerintah terlalu berfokus pada penyelesaian masalah jaringan internet,” tuturnya.

Sebagian besar siswa, terutama SD-SMA, menyatakan sekolah daring mendapat keterampilan hidup. Namun tak sedikit pula, 34 persen siswa SMA/SMK/MA, tak mempelajari apapun selama sekolah online.

“Semakin dewasa jenjang pendidikan siswa, semakin merasa tidak bergunaan proses belajar jarak jauh karena merasa tidak produktif dan tidak mendapat keterampilan dan pengetahuan baru,” kata Rizal.

Ia memaparkan, kondisi itu menguatkan situasi hilangnya kesempatan belajar atau learning loss. “Bukan karena rendahnya akses terhadap proses belajar, tetapi proses belajar itu sendiri tidak berkualitas. Akibatnya terjadi double learning loss,” kata dia.

Menurutnya, keluarga dan orang tua amat membantu proses belajar siswa agar lebih positif dan termotivasi saat pandemi. Namun kurikulum untuk mengatasi pembelajaran jarak jauh belum mengakomodasi suasana kebatinan siswa agar tetap termotivasi selama belajar daring.

Di sisi lain, fleksibilitas menjadi hal yang paling disukai siswa selama belajar daring, yakni nyaris 60 persen siswa di semua jenjang.

Menurut Rizal, pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan siswa akan ruang otonomi dalam proses belajar adalah pembelajaran relevan bagi masa depan. Pendidikan yang memberi otonomi ini akan mengarahkan kemampuan siswa beradaptasi secara cepat terhadap perubahan di lingkungan.

Kemampuan beradaptasi dengan fleksibel adalah salah satu kompetensi yang paling dibutuhkan di era ke depan. “Dari pandemi, kita dapat belajar bagaimana sebaiknya pembelajaran masa depan dilakukan,” kata dia.

Survei menunjukkan, 68-76 persen siswa menginginkan pembelajaran tatap muka dapat digelar di masa depan. Untuk itu, kata Rizal, pandemi harus dijadikan titik balik pembaharuan pendidikan.

Menurutnya, era masa depan adalah era digital dan teknologi bisa dimanfaatkan untuk membantu akses belajar serta meningkatkan mutu pembelajaran agar lebih fleksibel, penuh tantangan, dan interaktif secara massal.

“Proses belajar berpotensi kembali pada pola lama ketika pandemi selesai apabila pandemi tak kunjung dijadikan titik balik pembaharuan pendidikan. Pembaruan dalam kebijakan yang komprehensif dan sistematis harus segera dilakukan,” kata dia.

 

1917