Yogyakarta, Gatraa.com - PT Pertamina Hulu Rokan, unit usaha PT Pertamina (Persero), telah resmi melakukan alih kelola wilayah kerja Blok Rokan, terhitung sejak Senin (9/8) kemarin. Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengingatkan produksi blok itu jangan sampai justru turun.
Blok Rokan sebelumnya dikelola oleh Chevron, perusahaan migas Amerika Serikat (AS) selama 50 tahun sejak kontrak pada Agustus 1971 hingga berakhir pada 2021 ini.
Fahmy menjelaskan, alih kelola Blok Rokan dilakukan secara bidding yang diikuti oleh Pertamina dan Chevron. Setelah Pertamina mengajukan penawaran harga yang lebih tinggi ketimbang harga ditawarkan Chevron, Pertamina memenangkan bidding untuk mengelola blok terminasi itu.
"Berbeda dengan Blok Mahakam yang diambil alih oleh negara pada saat kontrak habis, lalu diberikan kepada Pertamina secara gratis, Pertamina harus merogoh koceknya dalam jumlah besar sesuai dengan penawaran dalam bidding untuk alih kelola Blok Rokan," tutur Fahmy dalam pernyataan tertulis, Selasa (10/8).
Alih kelola Blok Rokan berlangsung pada bulan kemerdekaan Republik Indonesia, sehingga dimaknai sebagai kembalinya kedaulatan energi negeri. Menurut Fahmy, hal itu sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 ayat 3, bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
"Kalau mendasarkan pada 'dikuasai negara', alih kelola itu bisa bermakna kembalinya kedaulatan energi dari perusahaan asing Chevron ke Pertamina sebagai representasi negara," ujarnya.
Namun, ia mengingatkan, pemaknaan kembalinya kedaulatan energi yang sesuai amanah konstitusi itu harus utuh. "Tidak hanya dikuasai oleh Pertamina, tetapi Blok Rokan juga harus memberikan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat," kata dia.
Menurutnya, salah satu indikator hal itu yakni produksi migas Blok Rokan tidak menurun usai alih kelola. "Kalau tidak bisa menaikkan produksi migas saat diambil alih, Pertamina paling tidak mempertahankan produksi migas Blok Rokan tetap sama dengan produksi pada saat dikelola oleh Chevron," ujarnya.
Fahmy mengingatkan, data blok terminasi, yakni Blok Mahakam dan Blok ONWJ, menunjukkan produksi blok tersebut ternyata menurun sejak diambil alih oleh Pertamina. "Target produksi Blok Mahakam pada 2019 sebesar 85.869 barrel per hari (bph) hanya dapat dicapai 75.879 bph atau 83,3% dari target," katanya.
Melempemnya produksi migas tidak hanya terjadi di Blok Mahakam, tetapi juga di Blok ONWJ. "Pada 2017, target produksi minyak di Blok ONWJ ditetapkan sebesar 33.002 bph, namun produksi dicapai 30.457 bph atau sekitar 92,29% dari target," paparnya.
Menurut Fahmy, berdasarkan data produksi di Blok Mahakam dan Blok ONWJ itu, produksi Blok Rokan juga berpotensi menurun setelah dikelola Pertamina. "Kalau penurunan produksi migas Blok Rokan benar-benar tejadi, alih kelola itu justru akan mencederai kedaulatan energi negeri," katanya.
Pasalnya, kata dia, penurunan produksi Blok Rokan saat dikelola Pertamina akan mengurangi kemampuan negara untuk mempergunakan Blok Rokan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai amanah konstitusi.