Jakarta. Gatra.com - Penyitaan aset kasus korupsi Jiwasraya-Asabri memunculkan protes di kalangan masyarakat. Kejaksaan Agung pun berpotensi melanggar HAM dalam aksi penyitaan hingga perampasan aset masyarakat yang tidak terkait tindak pidana korupsi tersebut.
Pakar Hukum Pencucian Uang Yenti Garnasih angkat bicara mengomentari polemik tersebut. Menurut dia jika penyidik menggunakan instrumen UU tindak pidana pencucian uang, maka aset yang disita haruslah harta kekayaan yang berasal dari kejahatan korupsi itu.
"Dan betul-betul harus dicari buktinya bahwa aset yang disita berasal dari kejahatan korupsi. Sehingga hanya harta kekayaan yang murni asalnya dari korupsi kasus tersebut yang layak disita. Pastinya aset itu didapatkan terdakwa setelah terjadinya korupsi. Nah ini yang harus betul-betul clear, JPU harus betul-betul bisa menyampaikan hasil penelusurannya berikut dengan bukti-buktinya di dalam peradilan," kata Yenti di Jakarta, seperti yang dikutip pada webinar "Abuse Of Power Atas Aset Berkedok Penegakan Hukum", Senin (9/8).
Yenti yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) menambahkan, perlu ada pembuktian oleh JPU mengapa ada aset pihak ketiga yang ikut disita dan dilelang dalam tindak pidana korupsi Jiwasraya maupun Asabri. Sebabnya, ada hak seseorang secara perdata dalam sebuah kepemilikan aset. Apalagi, lanjutnya, aset tersebut tidak ada kaitannya dengan perkara.
"Mereka inilah yang harus dilindungi hak-haknya. Apalagi mereka tidak berkaitan dengan pihak yang masuk kepada tindak pidana korupsi nya, untuk itu kan ada yang namanya hukum acara sehingga para penegak hukum tidak dianggap melakukan abuse of power," jelasnya.
Dalam tindak pidana korupsi, Yenti menyebut, sebenarnya ada perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang dirugikan atas tindakan perampasan aset tersebut. Yakni pada pasal 19 UU Tindak Pidana Korupsi. Namun, belum terimplementasikan dengan baik di pengadilan.
"Ya kan secara logika Pasal 19 UU Tipikor ini menampung berbagai keberatan pihak ketiga, yang harapannya untuk mengetahui bisa nggak aset tak terkait perkara tersebut tidak dilakukan eksekusi dalam putusan hakim, itu kan gitu ya. Tetapi anehnya seperti tidak ada sinergi, terus terang jadi tidak masuk akal bagi saya, untuk apa ada pengadilan jika pada akhirnya hakim seperti enggan melindungi hak pihak ketiga sebagaimana diamanatkan undang-undang. Lalu untuk apa ada pasal 19?" papar Yenti.
Sebagai informasi, berdasarkan perlindungan hukum pada pasal 19 UU Tipikor, diberikan upaya terhadap pihak-pihak yang merasa dirugikan atas tindakan perampasan aset oleh penyidik untuk melakukan keberatan dengan melakukan pembuktian terbalik.
"Nah ini yang harus ada benang merahnya, sehingga tidak boleh ada warga negara yang tiba-tiba karena permasalahan orang lain lalu harta kekayaannya ikut disita bahkan dilelang. Harus betul-betul ada aturannya dan penghitungannya, apabila terkait dengan saham perusahaan, juga harus sesuai. Jangan sampai penyitaan ini dilakukan sedemikian rupa yang nanti dapat disebut sebagai abuse of power. Lebih buruk lagi bila penyitaan tersebut hingga mengakibatkan perusahaan yang ikut terdampak karena penyitaan menjadi berhenti bahkan harus mem-PHK karyawannya," ujarnya.
Terkait perkara Jiwasraya-Asabri, Yenti menilai bila benar modus yang digunakan adalah kejahatan pasar modal sebagaimana pernyataan jaksa, maka tidaklah sulit melakukan penelusuran aset-aset nasabah di pasar modal yang tak terkait kasus korupsi, sehingga tak perlu ikut disita.
"Saya perlu ingatkan, jangan sampai penerapan hukum dalam kasus ini menimbulkan efek berkaitan dengan perkembangan ekonomi yang sedang dibangun. Apalagi kita tahu saat ini Presiden Jokowi tengah menggalakan program pemulihan ekonomi nasional. Nah, polemik ini tidak match dengan program pemulihan ekonomi nasional. Kalau memang betul ada bukti bahwa penyitaan-penyitaan ini tidak sesuai dengan prosedur hukum maka bisa dikatakan sebagai satu langkah abuse of power telah terjadi dalam proses penanganan kasus Jiwasraya-Asabri," kata dia.
Sementara Kuasa Hukum PT JBU-PT TRAM, Haris Azhar menemukan keanehan dalam proses penyitaan yang dilakukan Kejaksaan Agung. "Anehnya aset setelah disita Kejaksaan Agung saham-saham itu nilainya menjadi nol. Dalam konteks bisnis eksyen, aset itu dialihkan kemana? Apakah ditahan itu aset hingga menjadi nol. Kalo aset menjadi nol, rugi dong. Kejaksaan Agung menyita untuk apa jika kemudian setelah melakukan penegakan hukum terhadap Jiwasraya, asetnya sudah nol," kata Haris.
Yang paling runyam dan paling membahayakan dari situasi ini, kata Haris, adalah penyitaan oleh kejaksaan agung terutama dalam peran dan fungsinya sebagai penyidik, terhadap aset dalam penanganan Jiwasraya-Asabri yang fokus pada nama-nama yang sama, yaitu Heru Hidayat dan juga Benny Tjokro serta beberapa nama yang lain.
"Faktanya, ada dana program setting plan-nya karyawan PT PAL Indonesia senilai 220 miliar yang juga turut disita padahal mereka bukan nominee, lalu ratusan aset nasabah WanaArtha juga bukan nominee. Lalu ada pengelolaan tambang batubara di Kutai dibawah bendera perseroan PT GBU termasuk aset dan barang operasional, argumentasinya adalah bahwa saham-saham tersebut tidak dimiliki atau nominee terdakwa Heru Hidayat," ungkap Haris.
"Nah, istilah nominee yang dilekatkan kepada pihak, yang kemudian saham atau asetnya atau perusahaannya disita itu ternyata tidak dapat dibuktikan atau dijelaskan di muka pengadilan. Saya coba komunikasi dengan sejumlah nasabah dan para pihak yang duduk sebagai pihak ketiga itu. Lalu dapa tanda tanya besar dalam benak saya. Sebagaimana yang kita ketahui, hanya penyidik atau kejaksaan saja yang memiliki akses data terkait aset kan ya. Namun mengapa yang selalu muncul ke media dana publik hanya nilai bombastinya dari kerugian negara, sebenarnya yang merugikan itu siapa? Apa perannya orang-orang yang kemudian saham atau asetnya disita? Orang-orang ini kemudian kehilangan akses terhadap aset miliknya yang menjadi sitaan jaksa," imbuhnya.
Haris pun menyebut jika saat ini tidak ada satu mekanisme yang dijamin oleh hukum, yang bisa memfasilitasi perlindungan atas aset pihak ketiga. Satu-satunya yang bisa memberikan angin segar, lanjutnya, yaitu temuan dari ombudsman, namun itupun bila hasil temuannya ditindaklanjuti.
"Tahun lalu, ombudsman sudah mengatakan bahwa memang ada potensi penyalahgunaan kewenangan oleh kejaksaan dalam proses penyidikan penanganan kasus Jiwasraya. Nah, saya ingin tekankan bahwa penanganan korupsi itu tidak boleh semena-mena, nggak bisa sekedar menyita, merampas dan melelang. Ini kan seolah-olah negara nggak punya duit, lalu tiba-tiba diambillah aset Jiwasraya dan akhirnya nasabah yang harus bayar. Seolah negara lupa bahwa ada keterlibatan keringat, pemikiran, air mata atau mungkin juga darah yang telah berkontribusi dalam proses kapitalisasi aset nasabah," bebernya.
"Maka percuma teriak-teriak di mana-mana, bahkan bikin simbolisasi Omnibus Law untuk mengundang investasi, omong kosong pemerintah itu. Bikin omnibus law hanya untuk menunjukkan bahwa penting ada pembangunan ekonomi dan bisnis, tetapi ada modal dari anak bangsa yang justru diberangus oleh para penegak hukum. Para penyidik ini tidak bisa menunjukkan korelasi antara pelaku dengan asetnya sehingga menyebar tuduhan bahwa pemiliknya adalah nominee dari terpidana. Agar memudahkan hartanya atau asetnya diambil untuk menutupi kerugian negara yang sebenarnya tidak nyata karena BPK masih menghitung potensi dan bukan riil," tutup Haris.