Semarang, Gatra.com - Komisi D DPRD Jawa Tengah meminta agar eksploitasi air tanah dihentikan untuk mengurangi laju penurunan permukaan tanah di wilayah pantai utara (pantura)
Wakil Ketua Komisi D DPRD Jawa Tengah Hadi Santoso menyatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah harus mengambil kebijakan menghentikan eksploitasi air tanah.
“Bila eksploitasi air tanah tidak segera dihentikan, maka sisi utara Jawa akan kehilangan banyak daratannya, pantura akan tenggelam. Pemprov Jateng harus menyiapkan antisipasi atas hal tersebut,” katanya, Sabtu (7/8).
Menurut Hadi, para ahli memperkirakan permukaan laut akan naik 25 cm hingga 50 cm pada tahun 2050. Pada 2100, air laut akan menggenangi sebagian besar kota pesisir di Indonesia.
Kondisi ini, lanjut Hadi merupakan alarm bahaya atas pembangunan kawasan industri besar-besaran di wilayah pantura. Bahkan di Kabupaten Pekalongan sedang disiapkan proyek swasta dengan plan Segitiga Emas Pekalongan dengan lahan seluas ratusan hektare di tepi jalur pantura
“Ini merupakan alarm bahaya jika tidak diperhatikan dampak lingkungannya maka akan memperburuk kondisi permukaan di wilayah pantura. Pantura tenggelam bukanlah bualan,” ujarnya.
Menurut anggota dewan dari PKS ini, beberapa upaya yang mungkin dilakukan untuk mencegah masifnya land subsidence atau penurunan permukaan tanah di beberapa titik rawan di Jateng, antara lain menggantikan eksploitasi air tanah dengan air permukaan.
Saat ini melalui pembangunan dan optimalisasi Sistem Penyediaan Air Minum Regional (SPAMReg) Petanglong (Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Batang dan Kota Pekalongan) untuk mengurangi penggunaan air tanah dangkal yang menyebabkan kuantitas sumber air di wilayah tersebut cenderung menurun.
Optimalisasi SPAMReg akan meminimalisir penggunaan air tanah dangkal oleh masyarakat di tiga kabupaten/kota tersebut untuk mencukupi kebutuhan air baku untuk mereka.
“SPAMReg Petanglong ini ditargetkan meningkatkan akses air minum aman bagi 32.000 sambungan rumah yang tersebar di tiga kota tersebut,” ujarnya.
Upaya lainnya, imbuh Hadi, adalah menanam kembali mangrove, agar membentuk kembali garis pantai, menangkap sedimen transport untuk mengisi daratan dan menjadikan ekosistem estuary semakin hijau dan kaya akan unsur-unsur yang menopang keberlangsungan kehidupan mahluk hidup.
Serta menyempurnakan sistem planing pengendalian banjir dan rob yang sudah diinisiasi, kemudian diimplementasikan seiring berpacu dengan laju land subsidence.
Pemerintah dapat berkolaborasi dengan masyarakat dan aktivis lingkungan dalam menjaga ekosistem di daerah aliran sungai (DAS), mengingat di wilayah pantura sendiri terdapat 14 sungai rawan banjir seperti Sungai Bremi, Widuri dan Sungai pekalongan di Kota Pekalongan serta sungai Banjir Kanal Timur di Kota Semarang.
Hadi menambahkan pembangunan di Jateng juga harus taat pola dan struktur ruang, khususnya untuk mengurangi tekanan atau beban tanah di daerah pesisir, serta menghentikan pembangunan pabrik dan perumahan di lokasi tinggi land subsidence.
Semua pihak harus memiliki kesamaan visi serta tekad yang bulat untuk menyelamatkan agar land subsidence tidak terus terjadi. “Dibutuhkan kesungguhan pihak pemerintah, swasta serta masyarakat dalam melakukan tindakan nyata demi menahan laju land subsidence di wilayah pantura,” ujar Hadi.
Sebelumnya, Kepala Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Heri Andreas yang menyebutkan bahwa Kota Semarang, Pekalongan, Demak akan tenggelam dalam 10 tahun ke depan, sebab laju penurunan tanahnya terbilang tinggi, yaitu 15-20cm per tahun.
Tenggelamnya sebagian daratan ke laut ini, menurut Heri Andres disebabkan oleh penurunan tanah atau land subsidence yang masif. Akibat terjadinya subsiden tanah dan sea level rise, kota-kota pesisir seperti Jakarta, Semarang, Kendal, Pekalongan, Demak, Surabaya mengalami banjir air laut atau rob. ADV