Dua Periode, Cukup dan Selesai!
Oleh: Abdul Rachman Thaha*
“Saya, tentu, menentang keras penambahan masa jabatan presiden. Dari dua periode ke tiga periode dan seterusnya. Kita harus berhenti berpikir bahwa Indonesia seolah akan maju hanya jika dipimpin oleh orang yang sama”.
Survei nasional yang dilakukan Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) menyimpulkan bahwa responden pendukung partai besar seperti PDI Perjuangan (PDIP) dan Golkar mendukung wacana masa jabatan presiden tiga periode.
Saya tidak percaya hasil survei itu, jika memang benar adanya, juga mencerminkan keinginan politik Golkar dan PDIP. Sebagai dua parpol besar, keduanya-- saya coba yakinkan diri sendiri-- tentu memiliki fatsun (sopan santun) politik kebangsaan yang kental. Jauh lebih kental ketimbang politik kekuasaan. Jadi, kontras dengan hasil survei itu, Golkar dan PDIP tentunya telah meradar calon-calon presiden mendatang sebagai manifestasi betapa kedua parpol itu bersikukuh bahwa masa jabatan presiden maksimal dua periode atau sepuluh tahun.
Namun bagaimana seandainya, sekali lagi seandainya, Golkar dan PDIP ternyata secara resmi juga menjadikan hasil survei itu sebagai sikap partai?. Jika itu yang terjadi, sangat mungkin masyarakat luas akan mengeritiknya secara tajam. Pada satu sisi, masyarakat akan menolak. Tapi pada sisi lain, masyarakat juga tidak terlalu kaget jika Golkar setuju perpanjangan masa jabatan presiden.
Publik tentu masih ingat Golkar menikmati masa berpuluh-puluh tahun sebagai penguasa. Bersikap mendukung perpanjangan masa jabatan presiden, itu akan publik tafsirkan sebagai ambisi Golkar membetot masa depan Indonesia kembali ke masa silam.
Begitu pula PDIP. Mereka terinspirasi oleh status Bung Karno sebagai sosok yang pernah didaulat sebagai presiden seumur hidup. Status itu tidak menjadi kenyataan. Jadi, merealisasikan target seumur hidup itu seolah ingin dicapai PDIP lewat sosok Jokowi. Dengan demikian, upaya menahan Jokowi lebih lama lagi di kursi kepresiden akan diartikan khalayak luas sebagai hasrat PDIP membawa mimpi masa silam ke masa depan Indonesia.
Saya, tentu, menentang keras penambahan masa jabatan presiden. Dari dua periode ke tiga periode dan seterusnya. Kita harus berhenti berpikir bahwa Indonesia seolah akan maju hanya jika dipimpin oleh orang yang sama. Bahkan betapa pun sebagian dari kita berasumsi bahwa Indonesia hari ini sudah dipimpin oleh nakhoda yang well performed (sekali lagi asumsi), tetap saja kita semua harus “memaksa” diri kita untuk optimis bahwa tetap ada warga negara yang mampu menjadi pemimpin nasional yang baru. Kita harus cari, kita harus temukan, dan kita harus pilih nama baru itu!
Apalagi ketika faktanya semakin banyak kalangan yang sangsi akan efektivitas kepemimpinan Jokowi. Semakin kuat keharusan bagi kita untuk berikhtiar sekuat tenaga bahwa tahun 2024 nanti Indonesia memiliki duet presiden dan wakil presiden baru. Duet yang memulihkan harapan kita akan pemberantasan korupsi, pemulihan ekonomi, pengelolaan BUMN yang efektif dan terpercaya, penegakan hukum yang tidak tebang pilih, serta pembenahan situasi lewat kerja nyata dan bukan lewat permainan citra.
Pemimpin seperti itu bisa datang dari mana saja. Tidak harus dari partai politik. Orang-orang yang potensial dan beritikad baik bagi republik, betapa pun dia tidak pernah masuk ke dalam partai politik, harus diberikan karpet merah untuk masuk ke istana negara.
Dia yang tidak berparpol bahkan boleh jadi merupakan orang yang sungguh-sungguh kuat. Bukan orang yang lemah, namun didorong-dorong menjadi presiden, karena gampang dipegang kepalanya.
*Penulis Anggota Komite I DPD-RI