Jakarta, Gatra.com – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) melansir bahwa nilai ekspor produk minyak sawit bulan Mei 2021 mencapai rekor bulanan tertinggi sepanjan sejarah, yakni US$3,063 miliar.
Direktur Eksekutif GAPKI, Mukti Sardjono, dikutip dari siaran pers GAPKI pada Selasa (3/8), menyampaikan, capaian ini didukung oleh harga rata-rata bulan Mei yang sagat tinggi, yakni US$1,241 per ton cif Roterdam.
Sementara itu, Anggota Bidang Kebijakan Publik GAPKI, Agung Utomo, dalam keterangannya menyampaikan, rencana penerapan Zero Over Dimension Over Load (ODOL) pada awal 2023 dinilai terlalu dini dan akan mengganggu pemasukan dan devisa negara dari sektor industri sawit.
Pasalnya, lanjut dia, sama seperti sektor industri lainnya, industri kelapa sawit juga masih terdampak pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir 2 tahun di Indonesia. Adapun kebutuhan ekspor dari industri kelapa sawit sekitar 35 juta ton per tahun atau setara dengan devisi negara US$ 22,6 miliar.
Ia merinci kepentingan minyak sawit dan turunannya, yakni terdiri dari CPO, oleo Chemical, Biodiesel, Lauric, Refine, sebanyak 52 juta ton per tahun atau sekitar 71 ribu truk. Adapun untuk kebutuhan ekspor angkanya mencapai 68%, atau 35 juta ton per tahun atau sekitar 48 ribu truk. Sedangkan untuk kebutuhan domestik sejumlah 32% atau 17 juta ton per tahun atau sekitar 23 ribu truk.
Menurut Agung, sekitar 50% truk beroperasi di jalan raya, sehingga jika penerapan nermalisasi ODOL pada awal 2023 mendatang bakal tetap diterapkan akan mengganggu karena dibutuhkan waktu hingga sekitar 2025 untuk mempersiapkannya karena hantaman pandemi yang tiba-tiba melanda.
Penerapan ketentuan ini akan menghambat operasional truk angkutan minyak sawit dan turunannya. Pasalnya, perpanjangan izin kir truk yang tidak bisa diperpanjang lagi. Ini akan berimbas pada pembatasan operasional di lapangan, karena tentunya akan dilakukan denda tilang Rp500 ribu per truk hingga dilarang beroperasi.
Terlalu cepatnya penerapan ketentuan tersebut, terlebih lagi sektor industri masih berjuang mengatasi dampak pandemi, menurut Agung, berpotensi melumpuhkan angkutan bahkan berpotensi terjadi mogok angkutan minyak sawit dan turunannya untuk ekspor maupun domestik.
"Hambatan itu minimum berimbas pada total 48 ribu truk untuk kepentingan ekspor. Akibatnya, ekspor minyak sawit dan turunannya dipastikan akan terganggu, dan itu otomatis juga akan mengganggu pemasukan devisa negara dari sektor sawit ini," ujarnya.
Pemangkasan muatan truk 20–60% ketika aturan Zero ODOL diberlakukan saat industri belum siap, akan mengakibatkan turunnya daya saing industri sawit. Pasalnya, akan meningkatkan biaya angkut sejumlah Rp32 triliun per tahun.
Kenaikan ongkos angkut itu terjadi karena penambahan jumlah armada 2 kali lipat atau sebanyak 70 ribu truk, artinya butuh tambahan biaya investasi Rp49 triliun.
"Itu kan tidak mudah untuk dipenuhi, apalagi di tengah kondisi sulit akibat dampak pandemi yang sudah hampir dua tahun melanda di negeri ini," katanya.
Atas dasar itu, Agung menyampaikan, pihaknya meminta agar diberikan kesempatan untuk berbenah terlebih dulu dalam menghadapi pandemi yang terjadi hingga saat ini. "Setidaknya, kami meminta penerapan normalisasi ODOL itu bisa diundur lagi hingga tahun 2025 mendatang," katanya.