Jakarta, Gatra.com - Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dikhawatirkan tidak mendorong kemandirian energi nasional. Bahkan, RUU itu berpeluang menghasilkan berbagai beban dan masalah bagi negara.
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Mukhtasor mengatakan RUU EBT yang tengah dibahas di DPR berpeluang mengulangi kondisi seperti UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
"UU Migas melanggar konstitusi sehingga dibatalkan. Dampaknya, ada krisis regulasi migas sampai sekarang. Jangan sampai RUU EBT mengalami hal serupa," ujarnya dalam webinar Dampak Regulasi EBT Terhadap Ketahanan Energi Nasional, Senin (2/8).
Pembuatan setiap UU seharusnya dilandasi semangat meningkatkan kedaulatan dan kemandirian nasional. Sayangnya, RUU EBT mencerminkan semangat mendukung impor dan memfasilitasi oligarki. "Detil sekali untuk fasilitasi kepentingan," kata dia.
Ia melihat pasal 40 pada RUU EBT yang mewajibkan PLN membeli listrik EBT dari pembangkit swasta. Kewajiban itu tidak menimbang kebutuhan PLN dan listrik nasional. Hal itu bisa membebani PLN dan di sisi lain menjamin investasi para pelaku EBT.
Selain itu, Mukhtasor juga menyoroti pasal 51 yang mengatur soal feed-in tariff. Ada beberapa masalah dari aturan itu. Pertama, aturan itu bisa membengkakkan subsidi. "Aturan itu mengasumsikan negara punya uang untuk menutup selisih produksi listrik PLN dan EBT. Kalau memang uangnya ada, kenapa tidak dipakai untuk menguatkan PLN atau industri nasional?" ungkap pakar Lingkungan dan Energi ITS tersebut.
Kedua, Komisi Pemberantasan Korupsi merekomendasikan tidak ada feed-in tariff. Jika RUU EBT tetap memasukkan klausul itu, maka RUU itu tersebut berpotensi melanggar rekomendasi KPK dan hal itu berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Ketiga, klausul itu mirip ketentuan Take of Pay (ToP) yang kini diberlakukan untuk IPP swasta. Mekanisme ToP memastikan keuntungan bagi IPP atau investor. Sementara bagi negara dan PLN, untung atau rugi harus ditanggung.
Di RUU EBT, kewajiban membeli listrik dari IPP EBT tidak memandang apakah PLN butuh atau tidak. Padahal, sekarang PLN sedang kelebihan daya. Dampak berat ToP paling terasa paling tidak sejak 2019. Mukhtasor melanjutkan, konsumsi listrik turun, sementara biaya yang harus dibayar tetap. Pandemi membuat konsumsi semakin turun. Sekarang cadangan daya sudah di atas 35% dari idealnya 30%.
Keempat, RUU EBT tidak menunjukkan keberpihakan jelas pada pelaku EBT skala kecil dan menengah yang lazimnya berasal dari dalam negeri. RUU itu malah condong mendorong impor.
Di luar negeri, memang ada aturan feed-in tariff. Akan tetapi, aturan itu diiringi dengan dorongan membangun industri nasional pada sektor EBT. Di RUU EBT, alih-alih mendorong industri nasional, malah condong memfasilitasi asing. "Penetapan tarif saja dalam dollar, bukan rupiah," ucap Mukhtasor.
Di sisi lain, Perintis Pembangkit Berbasis Komunitas, Tri Mumpuni, menyebutkan Indonesia dengan cuaca yang hanya dua musim, sangat besar peluangnya untuk membuat panel surya di berbagai tempat. "Potensi Indonesia (untuk membuat panel surya) amat besar," kata dia.
Indonesia dinilai begitu tergantung pada impor solar panel. Sementara di negara lain, upaya pengembangan panel surya terus didukung. "Kita hanya berpikir beli dan impor, bukan mencipta," ucap Tri.
Ia juga mengatakan, kedaulatan energi hanya bisa dicapai jika semua potensi lokal dimanfaatkan. "Pembangkit mikro yang dikelola komunitas hingga ke pembangkit besar harus dimanfaatkan. Pembangkit mikro bisa dibuat dan digunakan oleh komunitas," pungkasnya.