Semarang, Gatra.com- Masyarakat Trasnportasi Indonesia (MTI) menyoroti maraknya angkutan umum plat hitam pada pandemi Covid-19 yang dikhawatirkan akan meningkatkan penyebaran virus Corona.
Menurut Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI pusat, Djoko Setijowarno, maraknya angkutan umum plat hitam terjadi sejak pemberlakuan larangan mudik untuk mencegah penyebaran Covid-19. “Di saat angkutan umum resmi tidak boleh beroperasi, maka angkutan umum plat hitam mengambil alih sejumlah penumpang yang masih melakukan perjalanan ke luar kota,” katanya, Minggu (1/8).
Lebih lanjut Djoko menyatakan, keberadaan angkutan umum plat hitam karena ada kebutuhan antara pemilik kendaraan dan penumpang yang tinggi. Angkutan umum plat hitam berkembang pesat di saat pandemi Covid-19, setelah angkutan umum legal, seperti bus antarkota dalam provinsi (AKDP) dan bus antarkota antarprovinsi (AKAP) tidak beroperasi karena ada penyekatan di sejumlah ruas jalan di daerah.
Serta ditambah ada perlindungan dari oknum aparat hukum bekerjasama dengan perantara (makelar), turut menambah semakin tumbuh subur angkutan umum plat hitam. “Para pengusaha angkutan umum plat hitam, makelar, oknum aparat melihat adanya keterbatasan dari Kementerian Perhubungan dan Dinas Perhubungan yang hanya bisa menertibkan angkutan umum di dalam terminal,” ujarnya.
Sedangkan pemilik angkutan umum plat hitam beroperasi di luar terminal. Masyarakat yang mau ke terminal inginnya praktis, tanpa harus jalan jauh di dalam terminal, akhirnya menggunakan jasa angkutan umum plat hitam, walaupun konsumen tahu minim perlindungan.
Kebanyakan pemilik mobil, hanya menyerahkan mobil ke oknum-oknum untuk dikelola, pengemudinya juga pengemudi tembak yang penting bisa mengemudi, terkadang tidak memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM), tidak melakukan uji laik jalan (KIR) kendaraan, dan tidak membayar asuransi jiwa ke PT Jasa Raharja.
“Jika penumpang sedikit, maka dikumpulkan jadi satu mobil, untuk menghemat biaya. Jelas protokol kesehatan (prokes) tidak dipenuhi. Tanpa disadari angkutan umum pelat hitam salah satu sumber penularan Covid-19,” kata Djoko.
Dia menambahkan, saat ini sudah ada jaringan angkutan plat hitam, yang bekerjasama dengan makelar (agen), mereka juga bayar bulanan ke oknum aparat melalui perantara (masuk wilayah Jabodetabek bayar Rp300 ribu per bulan), sehingga jadi binaan yang menguntungkan.
Jika kendaraan plat kuning tidak operasi, maka para perantara dapat memobilisasi sejumlah angkutan umum plat hitam. Untuk urusan armada, angkutan umum plat hitam sudah relatif maju dengan menggunakan kendaraan berkapasitas 8-20 penumpang, seperti Toyota Hiace, Toyota Inova, Isuzu Elf, Toyota Avanza, Daihatsu GranMax.
Operasional angkutan plat hitam, berupa bus kecil digunakan untuk melayani angkutan antar jemput antar kota antar provinsi, mobil penumpang untuk melayani angkutan antar jemput antar kota antar provinsi.
Serta melayani jarak kurang dari 500 km dengan waktu perjalanan selama 4 sampai 6 jam, antara lain Cirebon, Kuningan, Tegal, Brebes, Pemalang, Purwokerto, Solo, Banjar, Lampung. “Dampak maraknya angkutan plat hitam adalah meningkatnya angka penularan Covid-19 karena tidak mematuhi protokol kesehatan yang berlaku,” ujarnya.
Sesuai Pasal 308 UU Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan angkutan plat hitam dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu. “Sesungguhnya, para pengusaha angkutan umum plat hitam mau melegalkan, cuma mereka kurang tahu caranya,” katanya.