Jakarta, Gatra.com - Bank Dunia merilis laporan berjudul “Beyond Unicorns 2021: Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia” pada Kamis (29/7) yang menyoal kesenjangan konektivitas dan persoalan keamanan data digital di Indonesia. Laporan ini memantik perhatian banyak kalangan khususnya pemerhati siber.
Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menyebut persoalan kesenjangan konektivitas dan keamanan data digital sudah menjadi komoditas isu yang selama ini didorong DPR kepada pemerintah. Terutama yang berkaitan dengan produk hukum berupa UU Perlindungan Data Pribadi (PDP).
“Soroton Bank Dunia soal lemahnya keamanan data digital di Indonesia bisa berpengaruh terhadap trust investor dari negara lain. Mereka bisa jadi akan lebih memilih Vietnam atau negara ASEAN lainnya yang telah memiliki regulasi perlindungan data pribadi,” ujar Sukamta dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (30/7).
Politikus PKS itu menyebut keamanan data digital, tidak hanya soal perlindungan data warga negara Indonesia, tetapi sistem informasi yang akan membuat semua pihak merasa nyaman dan aman melakukan transaksi elektronik di tanah air.
Sukamta berpendapat, penyelesaian RUU PDP menjadi sangat krusial, karena regulasi ini akan menjadi titik tolak berbagai aturan teknis terkait keamanan data digital. “Semakin lama pembahasannya, apalagi kalau sampai tidak jadi, maka akan membuka celah terjadinya banyak kejahatan data digital sebagaimana baru saja terjadi bocornya 2 juta data nasabah BRIlife,” katanya.
Doktor lulusan Inggris itu meminta pemerintah agar merespon keinginan DPR terkait pengesahan RUU PDP menjadi undang-undang. “Saya minta Kominfo dalam hal ini Dirjen Aptika jangan mengulur-ulur waktu dan masih saja ngotot terkait Lembaga Pengawas Data Pribadi ada di bawah kementerian. Dalam pembahasan di Panja sudah sangat jelas, lembaga ini sangat strategis, independen, dan kapasitasnya beyond (di luar) Kominfo, tentu akan berfungsi secara optimal saat berada di bawah koordinasi presiden secara langsung.”
Wakil Ketua Fraksi PKS ini mengingatkan pemerintah akan perkembangan industri digital yang amat pesat menuntut respon dari sisi kesiapan SDM, infrastruktur hingga regulasi. “Masa zaman digital, industri 4.0 tapi cara kerjanya seperti analog. Kalau serba terlambat, Indonesia hanya akan jadi budaknya digital, sekedar jadi konsumen, jadi pasar yang dieksploitasi negara dan perusahaan asing”.
Ia berharap semua pihak mendorong terwujudnya iklim regulasi yang memberikan kenyamanan investasi dan menstimulus ekonomi. “Kita tentu ingin Indonesia bisa membangun kemandirian digital, bisa membuat lompatan mengejar ketinggalan. Regulasi soal keamanan digital sekuat undang-undang menjadi salah satu instrumen yang penting untuk mengawal itu semua,” pungkasnya.