Jakarta, Gatra.com - Malaysia telah mendaftarkan obat baru yang terjangkau, efektif dan pertama di dunia untuk Hepatitis C. Di mana ini menawarkan harapan pengobatan yang dapat diakses oleh jutaan orang di seluruh dunia yang berisiko dari penyakit yang memiliki sedikit gejala awal, sulit untuk didiagnosis dan sering dianggap sebagai pembunuh diam-diam atau silent killer.
Stasiun berita Al Jazeera melaporkan pada Rabu, (28/7) yakni obat ravidasvir telah disetujui untuk digunakan dengan obat yang ada, sofosbuvir, pada bulan Juni lalu, lima tahun setelah pemerintah Malaysia bermitra dengan Drugs for Neglected Diseases initiative (DNDi), sebuah organisasi penelitian obat kolaboratif nirlaba untuk mengembangkan obat.
"Kami memutuskan untuk bekerja dengan negara-negara berpenghasilan menengah untuk mencoba mengembangkan pengobatan yang efektif, kata Jean-Michel Piedagnel, Direktur DNDi Asia Tenggara.
"Kami memulai uji klinis di Malaysia dan Thailand dengan mengatakan bahwa kami juga akan memasarkan pengobatan yang terjangkau," imbuhnya.
Obat baru ini adalah antivirus kerja langsung atau Direct-Acting Antiviral (DAA) yang dikembangkan bersama Pharco, produsen obat generik Mesir, dan merupakan upaya untuk membawa lebih banyak persaingan ke pasar yang didominasi oleh perusahaan farmasi terbesar di dunia. Sofosbuvir, adalah DAA pertama yang mendapatkan persetujuan di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2013 lalu.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), sekitar 71 juta orang di seluruh dunia diperkirakan hidup dengan Hepatitis C, virus yang ditularkan melalui darah yang dapat menyebabkan sirosis dan merupakan salah satu penyebab utama kanker hati. Tidak ada vaksin untuk melawan penyakit ini, di mana ini seringkali tidak memiliki gejala khusus sampai hati turut terinfeksi.
Selama bertahun-tahun, penyakit ini diobati dengan serangkaian obat yang membawa efek samping yang melemahkan dan sering membuat orang merasa lebih buruk. Sementara itu, Sofosbuvir, di bawah paten untuk pembuat obat AS Gilead, itu bersifat mahal dan tidak terjangkau oleh banyak negara yang berpenghasilan menengah dan berkembang.
Obat hepatitis C selalu sangat mahal di kawasan Pasifik Barat, karena kita hanya memiliki negara berpenghasilan tinggi dan menengah, seperti yang dikategorikan oleh Bank Dunia, jelas Dr Po-Lin Chan, petugas medis WHO untuk virus hepatitis.
Cina, Malaysia serta Thailand termasuk di antara negara-negara yang dikecualikan dari lisensi sukarela Gilead pada tahun 2014 lalu. Pada tahun itu, sebuah penelitian dari Universitas Malaya memperkirakan bahwa Malaysia memiliki setidaknya 400.000 orang yang hidup dengan hepatitis C.
Di antara mereka adalah Ng Song Ping yang berusia 49 tahun. Penyakit itu telah menguras semua energinya. Meski bekerja sedikit saja, saya lelah, ngantuk. Saya tidak bisa bekerja lama-lama, katanya.
Bahkan mandi, makan, menonton TV saja membuatku merasa lelah, tambah Song Ping.
Ia merupakan satu dari 300 orang yang mengikuti uji klinis Ravidasvir plus Sofosbuvir yang dimulai pada tahun 2016. Kemudian, tiga bulan setelah ia memulai pengobatan, tes itu tak menunjukkan jejak virus tersebut.
Sekarang, saya sudah baik-baik saja, rasa lelah dan kantuk sudah hilang, kata Song Ping, kepada stasiun berita Al Jazeera.
"Sekarang, saya bekerja setiap hari, 365 hari per tahun, saya tidak mengambil liburan. Saya membuat kebun sayur, saya menanam sayuran, memanennya serta mengantarkannya ke toko setiap hari," terangnya.