Home Politik Soal Papua Pasca-Habibie dan Gus Dur Versi Amnesty International

Soal Papua Pasca-Habibie dan Gus Dur Versi Amnesty International

Jakarta, Gatra.com – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan, pascapemerintahan BJ Habibie dan Gus Dur selama ini, sebenarnya bukanlah untuk persatuan Indonesia, melainkan apa yang disebut oleh Mohammad Hatta sebagai "persatean" Indonesia.

Hal ini merujuk kepada klaim-klaim pemerintah pusat yang selalu mengatakan bahwa mereka ingin menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di dalam melaksanakan kebijakan-kebijakannya di Tanah Papua.

"Dengan kata lain, pemerintah memang sering menggunakan klaim-klaim bahwa segala kebijakan pemerintah terhadap Papua itu adalah demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujarnya dalam webinar bertajuk "Benarkah Hak-Hak OAP Diabaikan dalam Revisi UU Otsus?" pada Rabu (14/7).

"Seolah-olah masalah di Papua hanyalah masalah yang berasal dari ancaman terhadap persatuan Indonesia," imbuh Usman.

Ia mengatakan, kalaupun ancaman itu ada, faktor penyebabnya sebenarnya berasal dari kebijakan yang salah dari pemerintah pusat dan bukan dari Papua. Sebab, yang selama ini hendak diberlakukan oleh pemerintah Jakarta, khususnya setelah pemerintahan Habibie dan Gus Dur.

Usman menyebut di era kepresidenan Habibie sangat terbuka, begitupun dengan Gus Dur, dengan terdapat kebijakan membolehkannya orang Papua menyanyikan lagu "Hai Tanahku Papua", mengibarkan bendera Bintang Kejora serta mengekspresikan simbol-simbol kebudayaanya. "Termasuk menggunakan Papua dari yang sebenarnya Irian Jaya Barat," tambahnya.

Sementara itu, kata Usman, Bung Hatta pernah menyampaikan kekhawatirannya saat banyak terjadi perdebatan tentang Papua dan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Ketika itu, Bung Hatta mengkhawatirkan kalau ada yang mengambil kekuasaan politik atas Papua, ia khawatir itu akan membangun sebuah imperialisme Indonesia atas Papua.

"Jadi, satu kekuasaan politik yang dibangun di atas pemusatan kekayaan ekonomi, yang diambil dari kekayaan alam wilayah itu untuk kemakmuran dari penguasanya. Dalam hal ini pemerintah pusat Jakarta," terangnya.

Usman melanjutkan, di dalam sejarah, imperialisme politik itu selalu berbasis pada politik rasisme, politik keunggulan ras dari yang berkuasa, kelas yang berkuasa terhadap kelas yang dikuasai, dalam hal ini terhadap orang Papua. 

"Yang dalam pandangan Hatta ketika itu, dia mengakui orang Papua bukan sebagai bangsa Melayu, melainkan sebagai bangsa Melanesia. Padahal dalam pengertian itulah saya kira, pandangan-pandangan yang berbau rasisme itu masih bisa kita merasakan," ucapnya.

252