Oleh: Anwar Hudijono *)
Pasukan Quraisy sudah terlihat. Kami tidak gentar. Di antara kami malah sudah ada yang menghunus pedang siap mempertahankan diri. Kami tinggal menunggu aba—aba komando dari Nabi. Kami sami’na wa atha’na, mendengar dan patuh.
Nabi tetap tenang. Takut? Tentu tidak. Tapi Nabi konsisten dengan niat menunaikan haji. Bukan niat untuk berperang. Sementara Quraisy memang ingin pecah perang. Nabi tak mau masuk perangkap mereka. Tak mau menari di bawah genderang Quraisy.
Nabi memutuskan mencari jalan lain. Kita mengikuti beliau. Medan jalannya sangat berat. Melalui tebing batu karang yang curam. Kaum muslimin tidak ada yang mengeluh. Semua rasa payah tertutup oleh semangat yang tinggi dan ikhlas.
Tiba-tiba Al Qashwa berhenti dan berlutut. Muslimin menduga unta kesayangan Nabi ini kelelahan. “Tidak. Dia ditahan oleh yang menahan gajah dulu dari Mekah. Setiap ada ajakan dari Quraisy dengan tujuan mengadakan hubungan kekeluargaan, tentu saya sambut,” sabda Nabi.
Kita tiba di Hudaibiya, daerah sebelah bawah Mekah. Nabi memerintahkan kami turun. Di antara jamaah ada yang bertanya, “Ya Rasulullah, kalau pun kita turun di lembah ini tidak ada air.”
Kami melihat Nabi mengeluarkan anak panah dari tabungnya (bukan panah untuk perang). Menugaskan seorang sahabatnya agar memanah ke dasar sumur-sumur yang kering. Begitu dipanahkan, memancarlah air yang berlimpah. Kami semua lega.
Delegasi Quraisy Bingung
Quraisy bingung menghadapi langkah Nabi. Pasukan Khalid ditarik untuk disiagakan di Mekah. Quraisy mengutus Budail bin Warqa dari suku Khuza’a menemui Nabi. Kepada Budail Nabi menjelaskan tujuannya. Hanya ingin umrah atau haji. Tidak ingin berperang.
Budail melaporkan apa adanya ke Quraisy. Tapi dia malah dicurigai. Tak puas, kemudian Quraisy mengutus Hulais, pimpinan suku Ahabisy. Saat Hulais tiba, Nabi menyuruh kita melepaskan hewan-hewan kurban agar terlihat oleh Hulais. Begitu melihat hewan kurban itu, hati Hulais yang memiliki dasar kegamaan jadi tergetar.
Dia kembali ke Quraisy dan meyakinkan bahwa tidak ada alasan yang benar untuk melarang Nabi ke Baitullah. Lagi-lagi Quraisy malah marah ke Hulais. Dan Hulais mengingatkan bahwa persekutuannya dengan Quraisy bukan untuk merintangi orang yang mau ziarah ke Baitullah.
Selanjutnya Quraisy mengutus Urwa bin Mas’ud Ath-Thaqafi. Ya Urwa menemui Nabi. Pendapat Urwa sama dengan delegasi sebelumnya. “Saudara-saudara, saya pernah ketemu Kaisar Persia Kisra dan Negus. Tapi baru kali ini aku melihat hubungan seorang raja dengan rakyatnya seperti Muhammad dengan sahabat-sahabatnya. Ketika dia mau wudlu, mereka segera bergegas. Jika ada rambutnya yang rontok mereka mengambil dan menyimpannya. Pikirkanlah kembali baik-baik,” kata Urwa di hadapan majelis Quraisy.
Ikrar Baitul Ridzwan
Lama sekali Quraisy tidak mengirim delegasi. Giliran Nabi yang mengutus delegasi. Tetapi di tengah jalan, unta utusan Nabi ditikam. Bahkan utusan itu mau dibunuh tapi bisa diselamatkan Ahabisy. Quraisy terus melakukan provokasi. Pada malam hari sebanyak 40 orang dari mereka melempari kemah kaum muslimin. Mereka ditangkap. Tapi Nabi memaafkan dan melepaskan mereka.
Nabi hendak mengutus Umar bin Khattab untuk menemui para pembesar Quraisy. “Ya Rasulullah saya khawatir Quraisy akan mengadakan tindakan kepada saya mengingat sudah tidak ada Bani Khattab yang melindungi saya. Quraisy tahu bagaimana permusuhan dan tindakan tegas saya kepada mereka. Saya menyarankan orang yang lebih baik dari saya yaitu Ustman bin Affan,” kata Umar.
Nabi setuju. Maka berangkatlah Utsman bin Affan yang juga menantu Nabi ini. Di Mekah Utsman melakukan negosiasi dengan penggede Quraisy seperti Abu Sufyan. Negosiasi berjalan sangat alot. Quraisy bersumpah tidak akan mengizinkan Nabi masuk Mekah dengan kekerasan tahun ini.
Umat muslimin gelisah. Kami juga resah. Memikirkan nasib Utsman. Karena sejak berangkat tidak ada kabar. Kaum muslimin khawatir Quraisy membunuhnya meskipun semua agama di Arab melarang membunuh di bukan suci dan di daerah Mekah. Mekah adalah milik semua. Kita mafhum Quraisy itu seperti serigala. Sadis, kejam.
Nabi memanggil para sahabat. Di bawah sebuah pohon kita bersama kaum mukminin berikrar siap berkorban jiwa raga untuk membalas setiap pengkhianatan Quraisy. Ikrar itu disebut Baitul Ridzwan. Dari alam bawah sadar, setiap kita memegang gagang pedang dengan niat meraih kemenangan atau mati di medan juang sebagai syahid.
Turunlah wahyu Allah. Kita mendengar dengan seksama ketika wahyu itu dibacakan junjungan kita Rasulullah. “Sungguh, Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon. Dia mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat”. (Qura: Al Fath 18).
Demi mendengar wahyu itu, tanpa terasa air kita menetes. Dada kita menjadi longgar seperti terlepas dari himpitan batu sebesar gajah abuh.
*) Anwar Hudijono, kolumnis tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur.