Home Ekonomi Wajib Tahu! Ini Tren Startup di India dan Asia Tenggara

Wajib Tahu! Ini Tren Startup di India dan Asia Tenggara

Jakarta, Gatra.com - Ekosistem startup di Asia Tenggara berkembang mengarah kepada tren yang serupa, yakni India menjadi katalis untuk perkembangan segmen bisnis di Asia Tenggara. Startup yang mature di India maupun Asia Tenggara mulai mencari opsi untuk melakukan ‘exit’, baik melalui merger SPAC atau rute IPO tradisional.

Kini sejumlah startup di Asia Tenggara seperti Grab, Traveloka, Bukalapak, dan Tiket.com sedang sibuk mencari opsi SPAC. Sementara, startup lain mencari rute yang lebih tradisional, dengan GoTo yang cenderung kepada opsi dual listing di bursa saham Jakarta dan AS, yang kemungkinan besar lewat jalur IPO tradisional.

“Jika melihat ekosistem startup India saat ini, terdapat sederet startup potensial yang signifikan untuk go public pada tahun ini,” ujar Managing Partner, Jungle Ventures, David Gowdey dalam rilis yang diterima Gatra.com.

David mengatakan, Flipkart menjadi startup bervaluasi terbesar senilai US$40 miliar, yang disebut mencari jalur SPAC. Beberapa startup lain seperti Zomato, Delhivery, dan UI Path justru lebih berminat untuk listing di bursa saham setempat. “Berdasarkan pengamatan, sektor e-commerce, fintech, logistik, dan ride-hailing merupakan sektor dominan yang berpotensi memunculkan banyak listing baru pada tahun ini,” katanya.

Perusahaan rintisan lainnya asal India adalah Paytm, fasilitator pembayaran digital terbesar di India yang juga ingin listing di bursa lokal dengan target penggalangan dana sebesar US$3 miliar. “Startup yang memiliki valuasi sebesar US$25-30 miliar itu juga dapat mempertimbangkan opsi untuk listing di bursa saham AS nanti,” ungkapnya.

Tren belanja bahan makanan (grocery) secara online terus berkembang selama pandemi dengan bisnis online to offline yang menjamur di Indonesia, setelah Vietnam, dan pemain besar di India sudah fokus di sektor tersebut. Kategori belanja dan ekosistem pendukungnya semakin dilirik pemain besar seperti Bigbasket yang didukung Alibaba dan Growfast yang didukung Tata, keduanya bersaing untuk pasar India. Flipkart dan Amazon juga dikabarkan tertarik melakukan ekspansi ke sektor ini.

Sementara itu, Alibaba melalui Lazada di Asia Tenggara baru saja menginvestasikan 400 juta dolar AS untuk CrownX yang bervaluasi US$5,6 miliar. Startup itu merupakan lini bisnis grocery online milik pemimpin ritel Vietnam Masan Corps. Di Indonesia, Gojek dikabarkan telah mengakuisisi 4% saham Matahari Putra Prima, yang mengoperasikan 208 gerai ritel grocery Hypermart di Indonesia. Tokopedia juga telah memiliki memiliki 95 gerai virtual di platform tersebut.

Fintech terus berkembang ke berbagai sektor ekosistem seperti digitalisasi UMKM, akses upah yang diperoleh, buy-now-pay-later dan lainnya. Pinjaman P2P juga mengalami pertumbuhan mengingat banyaknya jumlah UMKM dan individu yang tidak memiliki rekening bank (unbanked) di kedua wilayah tersebut.

“Perbankan digital juga merupakan kategori yang mulai bermunculan dengan beberapa pemain besar yang berhasil memperoleh lisensi operasi dan dapat mulai membangun bisnis untuk melayani ekonomi digital masa depan,” tutur David.

Pandemi yang mendorong percepatan adopsi e-commerce membuat perusahaan logistik menikmati dari peningkatan pertumbuhan konsumsi digital ini. “Kami melihat peningkatan solusi yang berfokus pada manajemen logistik berat, yang menghasilkan lebih banyak peluang bagi pemilik truk di platformnya”.

Aplikasi jenis ini juga memungkinkan hadirnya layanan tambahan seperti pembiayaan pembelian truk dan sistem invoice untuk layanan logistik sekaligus menyediakan layanan kontrak logistik untuk perusahaan FMCG. “Segmen bisnis ini tergolong sangat potensial dengan sistem logistik yang terfragmentasi di India dan Indonesia,” David menambahkan.

Selain itu, sektor Edtech juga mengalami perkembangan pesat yang didorong oleh keberhasilan pemain global terbesar di India. Pertumbuhan serupa juga turut dialami sektor social commerce yang tumbuh dengan cepat akibat besarnya jumlah pengguna Facebook dan Instagram. Pasar ini diprediksi bernilai US$25 miliar pada tahun 2022, berdasarkan Laporan Mckinsey.

Untuk mengembangkan ekosistem digital yang kuat dan berkelanjutan, modal yang diinvestasikan perlu disirkulasikan kembali ke investor, sehingga peningkatan jumlah exit memberikan jalan menuju likuiditas.

“Tak diragukan juga jika raksasa teknologi akan memanfaatkan modal dan likuiditas saham mereka untuk melakukan diversifikasi investasi lebih lanjut melalui merger dan akuisisi, seperti yang terlihat di pasar lain, seperti AS dan Cina,” terang David.

Hal ini tentu akan menciptakan dinamika pasar yang sangat menarik, baik di India maupun Asia Tenggara selama lima tahun ke depan. “Pergerakan ke arah digital baik di sisi konsumen maupun bisnis akan meningkatkan potensi untuk membangun bisnis berskala besar di kedua kawasan ini,” pungkasnya.

642