Jakarta, Gatra.com - Kekerasan berbasis gender (KBG) ternyata bisa tetap terjadi, bahkan selama masa pandemi Covid-19 berlangsung, meski sebagian besar orang harus bertahan di rumahnya masing-masing.
Program Coordinator Simavi, Angelina Yusridar Mustafa, mengatakan, sedikitnya ada sembilan jenis KBG yang bisa menimpa seseorang: Kekerasan domestik; pelecehan seksual; pernikahan anak; sunat perempuan; perdagangan manusia; pemerkosaan; stigma negatif terhadap kaum rentan seperti LGBT; kekerasan berbasis gender online; dan perlawanan perempuan terhadap negara.
Kekerasan domestik, kata Angelina, adalah hal yang paling sering ditemui selama masa pandemi. Biasanya, kasus semacam ini seringkali menimpa perempuan. Selama bekerja dari rumah, perempuan memiliki dua beban di pundaknya: pekerjaan kantor dan pekerjaan domestik seperti mengurus dapur dan anak.
Selain itu, pemaksaan seksual juga masuk ke dalam kategori ini. Sebagai gambaran, seorang istri, misalnya, enggan melakukan hubungan seksual dengan pasangannya, tetapi si pasangan bersikeras agar keinginannya untuk berhubungan seksual tetap terwujud.
Pernikahan anak juga masuk ke dalam ranah KBG. Menurut Angelina, Indonesia saat ini menduduki peringkat 7 dunia sebagai negara yang banyak menikahkan anak-anak di bawah umur.
Perlawanan perempuan terhadap negara juga meningkat di seluruh dunia selama pandemi. Karena perempuan selalu berada di dalam posisi rentan selama ini, maka mereka akan melakukan unjuk rasa kepada negara. "Dan ada penyikapan yang berbeda antara demontrasi yang dilakukan oleh laki-laki dan demontrasi yang dilakukan oleh perempuan," ujar Angelina pada gelaran webinar yang digelar We Are Sisters, Kamis (08/07).
Karena itu, Angelina berharap bahwa tiap orang perlu mengedukasi dirinya sendiri, dan pada gilirannya ikut meningkatkan kesdaran sosial dengan turut mengedukasi orang lain. "Yang paling utama edukasi lingkaran terdekat. Keluarga dan teman-teman terdekat kalian," ucap dia.
Sementara itu, Co-Director Hollaback, Citra Benazir, mengatakan, dari banyak jajak pendapat mengenai KBG, ditemukan bahwa sekitar 22 persen perempuan di Indonesia mengalami kekerasan berbasis gender selama masa pandemi. Dengan hasil ini, menurut dia, membuktikan bahwa rumah bukanlah ruang aman bagi korban. Apa pun jenis kelaminnya.
"Dengan tuntutan untuk tetap di rumah berarti ada yang terperangkap di dalamnya. Sebagian besar para pelaku KGB di dalam situasi seperti ini adalah orang-orang yang kita kenal dekat," kata Citra dalam kesempatan yang sama.
Bahkan pada beberapa kasus, Citra melanjutkan, pelakunya adalah salah satu anggota keluarga sendiri. Jika demikian, maka akan lebih sulit bagi korban untuk memproses secara hukum perlakuan tersebut.
Oleh karena itu, menurut Citra, orang-orang yang telah teredukasi mengenai hal ini harus membangun support system atau ruang aman bagi korban KBG. KGB di masa pandemi mencakup kekerasa verbal, psikis, seksual, online, bahkan keuangan. "Kita harus menciptakan dunia aman bagi siapa pun, dan mendukung survivor," ucap dia.