Jakarta, Gatra.com – Dokter Spesialis Paru Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI), dr. Gatut Priyonugroho, mengungkapkan, berdasarkan hasil penelitian di Skotlandia, pasien Varian Delta Covid-19 (B.1.617.2) perlu lebih banyak untuk dirawat inap dibandingkan dengan varian non-Delta dan jumlahnya diperkirakan hampir 2 kali lipat.
Gatut dalam webinar bertajuk "Mengenal Lebih Dekat COVID-19 Varian Delta serta Pencegahan dan Penanganan" pada Rabu (7/7), lebih lanjut menyampaikan, ini juga berlaku pada seseorang yang sudah divaksin.
Menurutnya, pasien Varian Delta yang telah divaksin membutuhkan rawat inap lebih banyak dibandingkan dengan yang non-Delta. "Tetapi yang divaksin tetap lebih baik dibanding dengan yang tidak divaksin," ujarnya.
Dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) ini, juga menyebut bahwa efektivitas vaksin untuk mencegah virus corona atas Varian Delta dan non-Delta juga menurun. Meski tanpa Varian Delta, efektivitas vaksin akan berbeda-beda, serta tergantung dengan vaksinnya. "Akan tetapi Varian Delta ini konsisten, mau vaksinnya apapun efektivitasnya berkurang," tuturnya.
Selain itu, Gatut menerangkan bahwa jumlah virus dari Varian Delta juga lebih banyak dibandingkan dengan non-Delta. Maka, ini yang diduga varian Covid-19 tersebut dapat lebih menular.
Ia juga menjelaskan, jika seseorang ada yang pernah terkena virus corona dan ia divaksin, maka antibodinya akan naik. Namun, kalau yang divaksin itu sebelumnya sudah pernah terjangkit Varian Delta, justru antibodinya malah tidak akan naik banyak.
"Kira-kira cuma seperlimanya. Ini dari penelitian kalau kenanya Covid varian lain kemudian divaksin, naiknya banyak tuh bisa 3 ribuan ya antibodinya, ini dari kuantitas," katanya.
Menurut Gatut, ada hal lain pada antibodi ini yang bersifat kualitatif. "Cuman ini kuantitatif kadar ya, ini dari kadar 3 ribu berbanding 6 ratus. Jadi kalau pernah kena Varian Delta, divaksin, antibodi yang diproduksi badan juga relatif lebih sedikit," ujarnya.