
Yogyakarta, Gatra.com - Kualitas guru ditengarai menjadi masalah utama stagnasi kualitas pendidikan dan SDM Indonesia. Guru semestinya diberi otonomi, seperti dalam membuat kurikulum.
Penggagas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal pun menengarai sistem pendidikan Indonesia sendiri yang justru membelenggu guru selama puluhan tahun.
Hal itu dikemukakan dalam Bimbingan Teknis Sekolah Menyenangkan secara daring dari Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang digelar Balai Besar Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi Bidang Pertanian, Kemendikbud-Ristek.
“Pola pengembangan profesionalisme guru di Indonesia selama ini berorientasi pada pemenuhan administrasi, sehingga penilaiannya lebih bersifat karikatif, atau tidak nyata. Sebatas konsep yang teknokratis,” ucap Rizal, dalam pernyataan tertulis, Rabu (7/7).
Meskipun Kementerian Pendidikan coba mengembangkan pelatihan guru penggerak, pemerintah daerah masih berorientasi pada pemenuhan administrasi.
Menurut Rizal, tiga aspek harus diubah dalam pengelolaan pengembangan profesionalisme guru. Ketiganya adalah aspek pemberian otonomi kepada guru, pembentukan komunitas guru yang saling berbagi, dan kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan baru sesuai kebutuhan zaman.
Ketiga aspek itu diharapkan meningkatkan kompetensi profesional, pedagogi, sikap kepribadian, dan keterampilan sosial guru. Sayangnya, pelatihan lebih banyak berorientasi pada peningkatan pedagogi dan profesionalisme karir guru, tapi kurang pada aspek sikap kepribadian dan sosial.
Menurut Rizal, salah satu contoh otonomi guru tersebut adalah pemberian ruang bagi guru oleh pemerintah untuk membuat kurikulum sekolah sendiri yang mampu menerjemahkan kurikulum pusat.
“Ruang itu bisa dalam bentuk kebijakan daerah yang memberikan alokasi seperempat waktu dari kewajiban guru bekerja selama 24 jam seminggu untuk mendapatkan sertifikasi yang digunakan untuk kegiatan pelatihan atau bertukar pengalaman antar-guru dalam membuat kurikulum sekolah,” kata Rizal.
Menurutnya, pemberian otonomi penting karena guru punya peluang untuk saling berbagi dan mendukung demi meningkatkan kualitas pengajaran. Jika kebijakan ini terwujud dan kontinyu, akan tercipta budaya baru.
"Guru merasa percaya diri dan memiliki kemandirian untuk mengambil keputusan atas praktik pengajaran selama ini. Guru akan menjadi pelaku utama bagi pengembangan siswanya secara holistik karena gurulah yang paling memahami kondisi mental dan kompetensi siswanya," tuturnya.
Selain itu, pembentukan komunitas guru untuk saling berbagi praktik pengajaran dan dukungan akan memberi kebanggaan atau kepuasan pada profesi guru, kepuasan pada lingkungan kerjanya, dan kepercayaan diri.
Sayangnya, kata Rizal, komunitas guru seperti KKG (Kelompok Kerja Guru), MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), KKS (Kelompok Kepala Sekolah), lebih banyak dipakai untuk menyeragamkan proses belajar antar-sekolah serta capaian belajar siswa.
Komunitas guru kerap hanya terlibat dalam pembuatan soal ujian bersama, pembuatan RPP bersama, dan administrasi pengajaran lainnya. Secara tidak sadar terbentuk rasa tidak memiliki kewenangan atas pengetahuan dan kompetensi profesionalisme di diri para guru.
Kondisi ini lantaran besarnya tuntutan guru untuk terlalu fokus pada pemenuhan administrasi oleh pemerintah daerah. Kondisi ini perlu dibongkar agar guru tidak terkungkung dalam budaya feodalisme standarisasi.
Rizall menjelaskan, guru lebih banyak mengeluhkan program baru yang berarti penambahan beban administrasi baru, seperti program Sekolah Adiwiyata dan Sekolah HAM. Berbagai macam program itu tak berdampak pada peningkatan profesionalisme guru serta tak berkontribusi langsung pada hasil belajar siswa.
“Pola pengembangan profesionalisme guru seperti ini akan berdampak pada kualitas hasil belajar siswanya. Dengan bukti, stagnannya kemampuan literasi penalaran siswa kita selama 20 tahun sejak era Reformasi.” ujar Rizal
GSM pun mengajak pemerintah untuk berperan lebih dalam memfasilitasi dan menciptakan iklim untuk mewujudkan pengembangan profesionalisme guru.
“Peran guru di masa depan bukan hanya mengajar atau menyelesaikan materi kurikulum, tetapi meneladani dan menjadi among bagi pengembangan individual siswanya, seperti yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara,” pungkas Rizal.