Jakarta, Gatra.com – Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, Iwantono Sutrisno, memprediksi tingkat hunian hotel non-karantina akan merosot tajam selama penetapan PPKM Darurat 3-20 Juli 2021 di Jawa dan Bali ini.
Iwantono menyebutkan penurunan tingkat hunian (occupancy rate) sebagai salah satu dampaknya.
“Pada masa lalu bisa sampai 20-40% itu menjadi sekitar 10-15%,” ujarnya dalam forum virtual bersama para wartawan yang digelar Senin, (5/7).
“Kecuali yang [ikut] program OTG ataupun yang repatriasi, ya. Ini secara umum yang non-karantina, baik itu hotel bintang maupun terutama non-bintang, ya, yang terpukul paling telak,” katanya.
Iwantono menyebut pihaknya menghargai keputusan pemerintah menarik rem darurat di tengah melonjaknya kasus Covid-19 harian belakangan ini.
Di sisi lain, ia tak menampik adanya dampak buruk yang menimpa sektor ekonomi, terutama bisnis perhotelan. “Tentu pemberlakukan dari PPKM Mikro Darurat itu mempunyai dampak yang signifikan, bukan hanya kepada sektor hotel dan restoran, pariwisata secara umum, tetapi juga seluruh sektor ekonomi,” ujarnya.
“Tentu dampaknya luar biasa bagi hotel-hotel, ya, khususnya bagi hotel non-program yang tidak mengikuti program repatriasi,” tambahnya. Iwantono juga menyebut bahwa salah satu masalah yang wajib diantisipasi adalah adanya pembatalan pesanan kamar hotel dari pelanggan.
“[Dikhawatirkan] terjadi pembatalan pesanan, baik itu kamar, kegiatan-kegiatan lain seperti perkawinan, rapat, kemudian juga kegiatan sosial,” katanya.
Iwantono menilai bahwa masalah pembatalan kamar tersebut akan berbuntut pada masalah lainnya. “Tentu ini memberikan potensi dispute soal pengembalian pembayaran [uang muka] ini,” imbuhnya.
Masalah lain yang juga diprediksi akan menghantui bisnis perhotelan selama masa PPKM Darurat—yang juga tak kunjung teratasi selama pandemi—adalah penurunan tingkat hunian (occupancy rate) yang diprediksi akan terjadi pula selama masa pembatasan tersebut.
Iwantono memprediksi bahwa rata-rata tingkat hunian hotel selama masa tersebut hanya akan berkisar 10%-15% saja, terutama untuk hotel non-karantina dan non-repatriasi. Di masa sebelum ini, ia mencatat bahwa tingkat hunian hotel berada di kisaran 20%-40%.
Rentetan permasalahan tersebut membawa bisnis perhotelan pada sebuah tindakan strategis yang wajib dilakukan demi bertahan hidup. Hanya saja, Iwantono agak menyayangkan langkah-langkah strategis yang diambil oleh pebisnis hotel selama pandemi itu, yaitu perang harga.
Iwantono mencatat bahwa pada periode Januari-Mei 2021, perang harga yang ia nilai tak sehat itu benar-benar terjadi. Ia menyebut hal tersebut ditandai dengan adanya penurunan harga sebesar -29% YoY pada periode tersebut.
Walau begitu, Iwantono bisa mewajarkan hal tersebut. “Jadi kalau tidak demikian, tentu tidak akan bisa laku sehingga harga-harga yang cenderung drop ini menyebabkan kesulitan untuk mengcover biaya-biaya yang terjadi,” ucap Iwantono.
Iwantono khawatir terjadi PHK karyawan—yang pada gambaran lebih luasnya bisa berbuntut pada meningkatnya jumlah pengangguran—bisa terjadi lagi secara besar-besaran. “Karena memang pekerjaannya berkurang dan juga bisa berakhir dengan PHK yang tentu ini menjadi dampak bagi ekonomi secara keseluruhan maupun terjadinya pengangguran,” ujar Iwantono.
Demi meminimalisir kejadian-kejadian tak mengenakkan tersebut, Iwantono menaruh harapan kepada pemerintah agar beban bisnis perhotelan bisa diringankan.
Iwantono meminta pemerintah agar bisa meringankan beban operasional, beban usaha yang merupakan biaya tetap, beban ketenagakerjaan seperti pemberlakuan unpaid leave dan pemberian subsidi gaji karyawan hotel, hingga memperpanjang berbagai perizinan operasional hotel.