Jakarta, Gatra.com – Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menyatakan Ivermectin tergolong obat keras sehingga pemakaiannya perlu resep dan pemantauan dokter. Ivermectin kaplet 12 mg terdaftar di Indonesia sebagai obat infeksi kecacingan (Strongyloidiasis dan Onchocerciasis).
Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Farmasi IAI, Keri Lestari Dandan menegaskan Ivermectin sangat tidak direkomendasikan sebagai obat pencegahan Covid-19. Dia mengatakan penggunaan Ivermectin masih sebatas uji klinis guna memperoleh data valid ihwal keamanan dan khasiatnya untuk terapi Covid-19.
“Karena pada profil tersebut sebagai obat cacing atau obat anti parasit, yang sesuai izin edar dari BPOM dinyatakan bahwa obat ini dalam indikasinya digunakan hanya 1 tahun sekali,” katanya dalam konferensi pers daring, Jumat (2/7) malam.
Keri menambahkan, butuh suatu perhatian khusus jika menggunakan Ivermectin secara rutin dalam jangka panjang. Selain itu, juga perlu pembuktian lebih jauh terkait keamanan, khasiat, dan efektivitasnya sebagai obat terapi Covid-19.
“Sekali lagi, untuk pengobatan Covid-19 saja direkomendasikan hanya untuk yang ada indikasi keparahan. Adapun untuk pencegahan sangat tidak direkomendasikan sehubungan efek samping yang masih perlu ditelaah lebih dalam mengenai keamanan penggunaan obatnya,” ungkapnya.
Pada 28 Juni, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) menerbitkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinis (PPUK) terhadap Ivermectin. Badan POM pun menegaskan penggunaan Ivermectin untuk indikasi Covid-19 hanya dalam kerangka uji klinis.
Sehingga, pemakaian Ivermectin di luar skema uji klinis, hanya boleh dilakukan jika berdasarkan hasil pemeriksaan dan diagnosis dari dokter sesuai protokol yang disetujui.
Di samping itu, Badan POM meminta masyarakat agar tidak membeli obat tersebut secara bebas tanpa resep dokter. Pasalnya, penggunaan Ivermectin tanpa indikasi medis dan tanpa resep dokter dalam jangka panjang dapat mengakibatkan efek samping, antara lain nyeri otot atau sendi, ruam kulit, demam, pusing, sembelit, diare, mengantuk, hingga sindrom stevens-johnson.