Jakarta, Gatra.com - Di hari ulang tahun ke-75, Polri mendapatkan banyak catatan dari dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Setara institute. Menurut Setara, Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo menunjukkan kontradiksi dengan konsepsi pemolisian demokratik dalam beberapa peristiwa.
Salah satu yang disoroti yakni kultur kekerasan yang masih tumbuh subur di internal Polri. Setara menyebut beberapa peristiwa menunjukkan peragaan kekerasan seperti dalam penanganan demonstrasi #ReformasiDikorupsi tahun 2019 dan demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja pada 2020 lalu.
"Bentuk tindakan kekerasan Polri dapat berupa penganiayaan, pengeroyokan, pemukulan, intimidasi penghapusan video kekerasan aparat dan lain-lain," ujar Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie dalam keterangannya, Kamis (1/7)
Tak hanya kekerasan secara fisik, Setara juga mencatat korps Bhayangkara tersebut kerap melakukan pembatasan akses informasi. Bahkan, Polri juga menghalangi akses bantuan terhadap para demonstran yang ditangkap.
"Selain itu, tercatat juga adanya pembatasan akses informasi, hingga tindakan penghalang-halangan akses bantuan hukum bagi demonstran yang ditangkap," tutur Ikhsan
Padahal, tindakan kekerasan aparat ini dari tahun ke tahun selalu menjadi fokus kritik pelbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk oleh Komnas HAM. Bahkan pada aksi #ReformasiDikorupsi pada 24-30 September 2019, Komnas HAM mencatat ada dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polri
Dalam catatan Komnas HAM pun, Polri menjadi lembaga yang paling banyak diadukan kepada Komnas HAM sepanjang 2020. Di antaranya terkait lambannya penanganan kasus, dugaan kriminalisasi, proses hukum tidak sesuai prosedur, dan dugaan kekerasan.
Selain itu, Setara mengatakan kultur kekerasan juga terlihat dalam peristiwa yang terjadi di ruang tahanan Polri. Kasus Herman, salah seorang tahanan yang tewas di sel Mapolresta Balikpapan pada Desember 2020.
"Kekerasan dan dugaan praktik penyiksaan terjadi karena model penyelidikan, interogasi yang dilakukan oleh anggota Polri untuk memperoleh pengakuan dan informasi dengan cara kekerasan seharusnya menjadi masa lalu, karena bertentangan dengan pemolisian demokratik," ungkap Ikhsan