Sarolangun, Gatra.com - Temenggung Tarib atau yang saat ini dikenal dengan nama H Jaelani seorang warga Suku Anak Dalam (SAD) atau orang rimba di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi, membantah soal kejadian yang kabarnya dialaminya dalam sebuah pemberitaan baru-baru ini.
Dalam pemberitaan itu menyebutkan, mulanya, Jaelani diperkenalkan soal bank oleh Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warung Informasi Konservasi (Warsi). Sejak saat itu, pria berusia lebih dari 60 tahun itu memilih membongkar kuburan uangnya.
Ia berniat menyimpan uang itu ke tempat yang lebih aman. Dengan membawa uang sejumlah Rp1,5 miliar, Jaelani menuju Bank di Kota Bangko, Kabupaten Merangin.
Dikonfirmasi Selasa (29/6), soal pemberitaan tersebut yang juga menyebutkan ia tidak bisa menyimpan uang di Bank dan ditolak karena tidak punya Kartu Tanda Penduduk (KTP), ia membantahnya dan mengatakan cerita itu dibuat-buat agar mereka di musuhi pemerintah.
Karena kalau sampai saat ini, mereka tidak memiliki KTP atau segala macam administrasi mereka menyangkut ke Pemerintah, artinya ada kelalaian atau Pemerintah tidak memperhatikan alias tidak peduli dengan keberadaan mereka.
"Itu cerita lama, bukan sekarang yaitu sekitar tahun 1988 yang lalu. Warsi itu sengaja buat berita yang tidak-tidak soal saya, biar saya dan warga kami dimusuhi Pemerintah dan mereka mau mencari untung soal itu," katanya kepada Gatra.com, Selasa (29/6) melalui sambungan telepon.
Ia menyebut, soal cerita ia di tolak pihak Bank untuk menyimpan uang tersebut sebenarnya tidak ada penolakan dan ia pun saat itu tidak datang langsung ke bank, tapi hanya bertanya ke orang bank bertemu di luar.
"Tapi begini, dahulu itu bukan saya mengantar duit (uang) bukan. Saya itu bertanya-tanya kepada orang bank, kalau kami orang rimba atau warga Suku Anak Dalam (SAD) menyimpan uang bisa apa tidak? Dan waktu itu di jawab orang Bank. 'Bisa pak, tapi syaratnya harus ada KTP dan KK kalau tidak ada memang tidak bisa'," kata H Jaelani.
Saat itu katanya, uang itu berasal dari hasil berladang, setelah itu di simpan masuk plastik dan di simpang dalam tanah dengan cara mencangkul tanah.
Uangnya juga tidak sebanyak pemberitaan itu, yang katanya sampai Rp1,5 miliar. Yang ada itu hanya sekitar Rp100 jutaan hasil dari berjualan getah karet hasil perkebunan.
Ia menjelaskan, waktu itu biaya hidup mereka tidak mahal, makanya dapat menyimpan uang sampai sebanyak itu. Makan alakadarnya, rebus ubi kayu (singkong) pakai garam, minum air putih cukup.
"Tolong sampaikan ke Pemerintah, orang yang buat berita itu mau menjatuhkan pak Tarib itu. Tidak ada kejadian soal itu," katanya menjelaskan.
Menanggapi kejadian yang di buat dalam pemberitaan itu, kepala Balai Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Haidir, mengaku terkejut. Ia mengatakan bahwa setelah membaca berita tersebut yang terkesan kejadian itu seolah-olah baru saja terjadi saat ini.
"Sekarang Bapak H. Jaelani sudah punya KTP dan juga bisa menyimpan uang di bank sehingga berita ini tidak mungkin, apalagi Bapak H Jaelani sudah muslim dan sudah berhaji (pasti punya pasport yang pembuatannya mensyaratkan KTP dan KK) dan sudah berkeluarga juga dengan orang luar otomatis beliau pasti punya KTP," katanya.
Haidir menjelaskan, merespon berita tersebut petugas balai TNBD yaitu atas nama Asep Agus Fitria selaku pendamping kelompok Temenggung Nangkui pada Ahad pagi 27 Juni 2021 bersama tim, telah melakukan klarifikasi langsung kepada Jaelani yang merupakan anggota kelompok Temenggung Nangkui.
"Berbagai pihak sudah sangat memahami bahwa Orang Rimba jauh tertinggal dalam banyak hal dari kita, padahal berkedudukan sama sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Mereka tertinggal dalam kapasitas pendidikan, sosial ekonomi, kesehatan, teknologi dan peradaban modern," katanya.
Haidir menyebut, bahwa pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) secara formal administrasi telah mengalokasikan ruang bagi Orang Rimba untuk bermukim dan berkehidupan di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas.
"Tetapi mengalokasikan ruang saja tentu tidak cukup, perlu pendampingan khususnya dalam kegiatan budidaya atau pemanfaatan lahan (land sharing) yang tentu saja sangat berisiko atau rawan terhadap pengaruh pihak luar yang terkadang dapat memanfaatkan Orang Rimba sebagai masyarakat adat," kata Haidir.
Berpijak dari pendapat di atas, menurut Haidur saat ini hal yang paling utama dilakukan adalah, pertama memberikan dukungan pendanaan dan pendampingan bagi Orang Rimba dalam kegiatan budidaya atau pemanfaatan lahan (land sharing) garapan keluarga menjadi sumber produksi dan lumbung pangan Orang Rimba.
Kedua, pada saat bersamaan (simultan) perlu penguatan kerjasama para pihak di sektor pendidikan untuk peningkatan kapasitas pendidikan (secara bertahap dan khusus).
Ketiga, penyediaan fasilitas kesehatan, Keempat, listrik ramah lingkungan, Kelima, pada akhirnya dan sangat penting adalah bagaimana melaksanakan pembangunan fasilitas pendidikan, kesehatan, sanitasi dan listrik yang ramah lingkungan dan menyatu dengan alam taman nasional.
"Ini semua pekerjaan berat, tapi wajib dilakukan karena Orang Rimba adalah WNI yang tidak perlu dipindahkan ke tempat lain tapi dapat hidup berkembang di alam TNBD dengan baik (terdidik, dan beradab sebagaimana WNI lainnya)," jelasnya.
Terlepas dari pandangan itu, ia mengaku bersimpati terhadap semua pihak yang telah peduli dan memperhatikan Orang Rimba.
"Kepedulian dan perhatian para pihak menjadi energi positif dan saling menguatkan dalam upaya penanganan persoalan yang dihadapi Orang Rimba saat ini," katanya lagi.