Home Gaya Hidup Cerita Orang Rimba Bernama Meriau

Cerita Orang Rimba Bernama Meriau

Sarolangun, Gatra.com - Bocah-bocah itu nampak riang berkerumun mematut android yang dipegang oleh salah seorang temannya di kawasan perkebunan kelapa sawit milik warga, di Dusun Marga Rahayu Desa Bukit Suban Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun, Jambi, Sabtu pekan lalu.

Mata seorang perempuan yang hanya berkain panjang, bertelanjang dada, mengekor tingkah anak-anak yang sebahagian tanpa pakaian itu. Bayi telanjang di gendongannya, cuma diam, menatap jauh.

Sudah dua bulan lebih mereka disuruh oleh salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bertahan di sana. “Kami disuruh di sini saja, tak tahu sampai kapan,” cerita Meriau saat berbincang dengan Gatra.com di bawah pohon kelapa sawit itu. Dia pimpinan rombongan itu; Suku Anak Dalam (SAD). Kepala Desa Bukit Suban, Mujito, juga ada di sana, menemani Gatra.com.

Meriau tak ingat berapa usianya sekarang. Tapi dia bisa memberi gambaran kalau sewaktu perusahaan kelapa sawit PT. Sari Aditya Loka (SAL) membangun perkebunan kelapa sawit di desa itu pada 1987, dia sudah remaja tanggung.

Meriau kemudian cerita kalau sebenarnya kelompok yang dia pimpin ada 37 kepala keluarga. “Tapi yang ada di sini hanya 10 kepala keluarga. Sisanya berpencar,” cerita lelaki yang mengaku punya anak lebih dari 40 orang itu.

“Tadinya istri saya 10. Tapi yang saya pakai sekarang tinggal dua. Dari istri terakhir, anak saya 12 orang,” dia merinci sambil menengok anak-anaknya yang sedang berkerumun bersama istrinya di dekat pohon kelapa sawit tak jauh dari dia berdiri.

Mendengar pengakuan lelaki ini, Mujito kaget. Bukan oleh jumlah istri Meriau, tapi soal jumlah kepala keluarga yang disebut tadi. “Lho, bukannya kelompok Meriau hanya 9 kepala keluarga? Data yang ada di saya hanya segitu, lho,” lelaki 50 tahun ini protes.

“Dari dulu kelompok saya ini 37 kepala keluarga, Bapak,” Meriau bersikukuh.

“Itulah, Pak Meriau tidak pernah datang ke rumah atau ke kantor saya. Nanti datanglah, bawa nama-namanya. Biar kita buat Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK)nya,” Mujito mengajak.

“Iyalah Bapak, saya akan datang ke rumah Bapak mengantarkan nama-nama itu,” Meriau manut.

Kepada Gatra.com, Mujito cerita kalau kelompok Meriau ini sebenarnya tinggal dan berladang di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD). Secara administratif, wilayah itu berada di RT 8 Dusun Sidomukti.

Agar akses mereka lancar ke pusat desa dan tak repot lagi melompati parit selebar 2,5 meter yang selama ini dialiri oleh air yang merembes dari kawasan TNBD, akhir tahun lalu pemerintah dengan melibatkan beberapa pihak, terutama Balai TNBD memfasilitasi pembangunan jembatan.

Tapi entah kenapa kemudian, kelompok Meriau ini sudah sampai di kebun warga itu pula. “Kalau orang yang tak tahu dan hanya menengok sepintas, mereka akan beranggapan pemerintah enggak peduli dengan SAD. Padahal sudah banyak yang kita lakukan untuk mereka. Belum lagi oleh perusahaan yang ada di sini,” katanya.

Tahun 2014-2015 misalnya, Dinas Sosial sudah membangun 61 unit rumah di Dusun Marga Rahayu Desa Bukit Suban. Rumah itu dibangun di tiga tempat; Bendungan, Pal Makmur dan Punti Kayu Dua.

“Ada beberapa kelompok yang kami datangi agar mau tinggal di rumah itu, termasuk kelompok Meriau. Saya bilang, ini ada program dari pemerintah, gimana? Mereka malah bilang tak butuh rumah, tak butuh baju, butuh makan saja,” cerita lelaki yang sempat tiga tahun jadi pendampingi SAD ini.

Yang membikin Mujito makin pusing, ketika pimpinan salah satu kelompok SAD enggak mau tinggal di rumah yang dibikin pemerintah itu. Sebab kalau pimpinan sudah menolak, otomatis para pengikut akan menuruti maunya si pimpinan meski si pengikut sebenarnya mau tinggal di rumah itu.

Bagi yang menempati rumah tadi kata Mujito, pagi-pagi mereka sudah pergi dan sorenya pulang.

"Setiap hari begitu, mereka katanya cari brondolan (buah sawit yang sudah terpisah dari tandannya). Dulu mereka ramai, bawa janjangan atau brondolan. Mereka lewat di depan rumah saya --- kebetulan rumah Mujito berada di pinggir jalan poros desa --- ini. Enggak tahu jualnya kemana. Penghasilan saya kalah dari mereka,” cerita lelaki yang sudah 8 tahun menjadi aparat desa ini.

Meriau cs juga tak mau tinggal di rumah bikinan pemerintah itu. Mereka justru minta dibangunkan rumah di dalam TNBD, biar dekat ke Kumo (ladang). Tapi pengelola TNBD kata Mujito menolak.

Belakangan, muncul kabar kalau pengelola TNBD sudah mau menuruti kemauan Meriau cs; boleh dibangun rumah di ladang masing-masing. Babak baru keinginan Meriau cs untuk tinggal di dalam kawasan TNBD pun dimulai.

Agar semua lancar, perbaikan infrastruktur dengan membangun jembatan di atas parit tadi pun dilakukan pada Agustus tahun lalu. Pemerintah Desa, TNBDB, Babinsa, Jenang, Temenggung dan pihak lain ikut menyaksikan itu.

“Belum tahu ke depan rezeki seperti apa. Gimana mau membawa peralatan rumah ke dalam sana, ini jaman jaman maju, gimana anak aku mau maju kalau beli mobil saja tak bisa lantaran jalan tidak ada. Tak mungkin mobil dititip di rumah orang, tak mungkin aku jalan kaki, itu tak maju namanya,” Meriau memandangi Mujito. Yang dipandang hanya bisa tertawa kecut.

Tumenggung Tarib, pimpinan SAD Ayik Itam (Air Hitam) tak menampik kalau perhatian pemerintah dan perusahaan sekitar kepada SAD sudah sangat banyak. Waktu perusahaan bikin kebun inti misalnya, SAD kata lelaki 70 tahun ini kebagian 50 kapling --- satu kapling dua hektar.

“Diberikan sebanyak itu lantaran jumlah kepala keluarga SAD di Ulayah --- Ulayat, kawasan persukuan --- Ayik Itam masih 50 kepala keluarga, termasuklah yang masih di rimbo. Saya sendiri waktu itu masih di rimbo, jadi tak dapat. Kami bukan tak mau kaplingan, tapi karena tak mau saja keluar dari rimbo. Walau tak dapat kami tak menuntut. Sebab ini bukan kesalahan perusahaan, tapi justru kesalahan pengurus kami,” cerita ayah 10 anak ini kepada Gatra.com di rumahnya.

Tahun 2008 kata penerima Kalpataru pada 1999 ini, mereka keluar dari rimbo. Di situlah mereka baru benar-benar kenal dengan perusahaan.

“Dibinalah kami orang SAD ini. Kami dibikinkan sekolah, dicarikan dan digaji gurunya. Anak disekolahkan semampu anak mau sekolah. Mau kuliah pun perusahaan mau membiayai,” ujarnya.

Balai kesehatan juga kata lelaki yang setelah mualaf dikenal sebagai Haji Jailani ini, dibuatkan. Tiap bulan diberi sembako. Termasuk kepada kelompok Meriau tadi. Yang sakit diantar berobat, setelah sembuh dijemput dan dibayari biayanya. “Oleh semua perlakuan itulah makanya kami senang, tenang,” Tarib berterus terang.

Yang paling membikin Tarib berkesan kepada perusahaan adalah ketika semua saudaranya SAD Ayik Itam menjual kaplingannya, perusahaan mau menebus kembali kaplingan itu dan menyerahkan kepada pemilik awal.

“Setelah ditebus dan diserahkan, dijual lagi. Dari situ perusahaan tak mau lagi menebusnya,” ujar Tarib kental dengan logat SADnya.

Dengan semua yang sudah dinikmati oleh warga SAD Ayik Itam itu kata Tarib, dia jadi miris mendengar kabar kalau di Media Sosial kemudian muncul bahasa yang menyebut; SAD kelaparan. “Dai mano pulak jalannyo?” Tarib bertanya.

“Saya sebagai kepala desa sangat menyayangkan bahasa itu. Bahasa kelaparan itu sangat ekstrimlah. Saya lihat sendiri kok gimana keseharian SAD di sini,” Mujito menimpali.

Sebenarnya kata Tarib, kerabatnya SAD Ayik Itam lebih rajin dan lebih hati-hati. “Kalau saya kurang rajin tapi sabar. Idak silau nengok orang punya mobil, motor, atau HP layar besak. Kalau teman-teman lain, banyak tak sabar. Makanya ladangnya terjual dan habis. Mereka tak kuat menengok perkembangan jaman. Jual ladang beli HP, mobil, dan lain-lain. Padahal makin lama mobil akan habis harganya, tapi ladang, makin lama makin mahal. Ini yang tak dipikirkan. Kalau tanahnya dipertahankan, kaya semua. Orang transmigrasi yang hanya punya kaplingan dua hektar saja bisa kaya,” katanya.

Satu lagi yang kurang pada kerabatnya yang lain kata Tarib, banyak dari mereka tak mau bertanya. “Saya sering bertanya sama orang. Orang itu kemudian mengingatkan saya; Pak, kalau beladang jangan dijual, biar ada untuk anak cucung (cucu). Itu kuncinyo. Nurut omongan orang lah,” pesannya.

Saat ini kata Mujito, populasi SAD di Desa Bukit Suban sudah berkembang pesat, telah mencapai sekitar 250 kepala keluarga meski yang asli Ayik Itam sebenarnya hanya 105 kepala keluarga. Mereka bermukim di Dusun Margarahayu, Sidomukti dan Bukit Pal Makmur. “Di Margahayu yang paling banyak,” Mujito merinci.


Abdul Aziz

3914