Home Politik SKB Diteken, Nasib Revisi UU ITE, Substansi dan Sisi Lemah

SKB Diteken, Nasib Revisi UU ITE, Substansi dan Sisi Lemah

Jakarta, Gatra.com - Pemerintah akhirnya menerbitkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tentang Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Surat tersebut ditandatangani oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Jakarta, 23 Juni 2021.

Anggota Komisi I DPR, Sukamta mengapresiasi langkah pemerintah yang meneken SKB tentang UU ITE. “Kami mengapresiasi langkah pemerintah untuk membenahi penegakan hukum dari UU ITE, hingga terbitnya SKB. Tapi, ada 2 hal yang kami soroti dengan terbitnya SKB, yaitu soal substansi hukum dan penegakan hukum,” ujar Sukamta dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (25/6).

Pertama, dirinya mempertanyakan substansi SKB dan hubungannya dengan revisi UU ITE. “Bagaimana nasib revisi UU ITE? Sementara, hulu persoalan ada di level undang-undang. Adanya SKB ini jangan dijadikan alasan bagi pemerintah untuk tidak merevisi UU ITE,” katanya.

Ia juga turut mempertanyakan kedudukan SKB dalam hukum positif. “Memang pemerintah punya diskresi, tapi apakah berlaku untuk kasus yang sudah ada aturan perundang-undangannya? Tidak ada bridging dari UU ITE dengan pembuatan SKB UU ITE ini, karena UU ITE tidak mengamanatkannya,” ujar Wakil Ketua Fraksi PKS itu.

Oleh karena itu, Sukamta menegaskan revisi UU ITE tetap wajib dilakukan. Baik dengan memperjelas delik yang ada dengan menambah pasal di UU ITE maupun mengharmonisasikannya dengan ketentuan delik dalam Rancangan Revisi KUHP. “Supaya tidak ada lagi penafsiran yang berbeda-beda untuk diterapkan kepada obyek hukum yang berbeda atau yang sering disebut pasal karet,” katanya.

Kedua, ia menyoroti aspek penegakan hukum, seperti akumulasi (gabungan) pidana yang dilakukan pada kasus tertentu di lapangan. Tentang gabungan pidana ini terdapat tiga (3) pandangan, yakni: Concursus idealis (gabungan satu perbuatan), Voortgezette handelling (perbuatan berkelanjutan) dan Concursus realis (gabungan beberapa perbuatan).

Mengenai Concursus idealis, pasal 63 KUHP mengatur bahwa sanksi yang diberikan kepada seseorang adalah yang paling memenuhi prinsip lex specialis. Prinsip hukumnya, satu tindak pidana hanya dapat dihukum dengan satu sanksi, tidak bisa akumulatif.

“Jika terdapat beberapa peraturan yang mengatur sanksi untuk satu tindak pidana, maka yang berlaku adalah peraturan yang paling khusus atau spesialis. Akumulasi pidana hanya berlaku dalam tindak kejahatan berlanjut (satu perbuatan diikuti/mengakibatkan perbuatan lainnya) dan gabungan perbuatan kejahatan (berlapis),” sambungnya.

Sukamta juga menyoroti batasan dan itikad penegak hukum dalam menentukan suatu perbuatan menjadi akibat ikutan (lanjutan) dari suatu perbuatan lainnya. “Penegak hukum harus bisa membuktikan hal tersebut dengan cermat, tidak bisa gegabah. Misalnya, suatu perbuatan menyebarkan hoaks, tidak serta merta mengakibatkan suatu perbuatan membuat keonaran dengan sengaja. Di sini penegak hukum harus berpijak pada ultimum remedium dan restorative justice, yang spirit-nya tidak mudah untuk menjatuhkan hukuman, bahwa hukuman adalah jalan terakhir”.

Ia berharap SKB tersebut mendorong penegakan hukum yang berkeadilan di masa mendatang. “Ke depannya kita berharap jagat maya terpelihara baik dengan penegakan hukum yang tegak lurus demi hukum, bukan demi kepentingan, baik kepentingan politik maupun material,” pungkas wakil rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta ini.

159