Jakarta, Gatra.com - Koalisi Serius Revisi UU ITE menegaskan bahwa masih terdapat permasalahan dalam implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang tidak dapat diselesaikan dengan pedoman.
Mereka menilai, yang menjadi salah pokok permasalahannya adalah ketidakjelasan atau kekaburan norma hukum yang tercantum dari pasal-pasal yang selama ini lebih sering digunakan untuk mengkriminalisasi warga negara dan karenanya melanggar UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana dilansir dari rilis yang diperoleh Gatra.com pada Kamis sore, (24/6).
Sebelumnya, diketahui Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah ditandatangani oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian RI. Serta resmi berlaku pada hari Rabu, tanggal 23 Juni 2021.
Adapun, Koalisi Serius Revisi UU ITE juga menyayangkan bahwa draft SKB tersebut belum pernah dibuka ke publik. Sehingga, minim partisipasi publik dan menunjukan proses penyusunan tidak terbuka serta tidak partisipatif.
Padahal, menurut mereka, partisipasi publik yang bermakna, efektif dan inklusif merupakan bagian yang sangat penting dalam penghormatan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Kemudian, tidak bisa hanya bersifat formal, akan tetapi harus berkelanjutan dan memasukan opini serta kekhawatiran masyarakat dalam setiap keputusan.
Koalisi tersebut juga mengingatkan, bahwa pedoman adalah bentuk penegasan bahwa UU ITE penuh masalah dan ini tidak boleh dianggap sebagai proses pengganti revisi UU ITE, penerbitan pedoman ini harus dianggap sebagai aturan transisi sebelum adanya revisi UU ITE. Mereka menekankan agar praktek pembuatan pedoman untuk menjawab revisi sebuah Undang-Undang bermasalah tidak menjadi kebiasaan di Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah harus tetap berkomitmen untuk merevisi UU ITE. Sesuai dengan Pasal 28 J UUD 1945 yang menegaskan bahwa Pembatasan HAM haruslah oleh Undang-Undang.
Atas dasar hal tersebut, Koalisi Serius Revisi UU ITE juga mendesak kepada pemerintah untuk tetap memprioritaskan dan menjaga komitmen Revisi UU ITE. Salah satu langkah yang harus segera diambil oleh pemerintah adalah segera melakukan pengajuan revisi dan pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Koalisi itu juga mendorong oemerintah untuk lebih terbuka dan partisipatif dalam proses penyusunan revisi UU ITE, dengan sungguh-sungguh melibatkan masyarakat terdampak regulasi.
Mereka juga mengingatkan bahwa proses regulasi Undang-Undang atau merevisi UU ITE juga dapat memakan waktu yang panjang. Maka dari itu, moratorium kasus UU ITE menjadi penting untuk pemerintah dan dalam hal ini untuk tidak memproses kasus-kasus yang berhubungan dengan pasal-pasal karet tersebut.
Lanjutnya, pemerintah juga dapat mengentikan semua proses yang sedang berlangsung, apa lagi negara tahu dan mengerti bahwa adanya pasal-pasal karet UU ITE yang bermasalah dan dapat melanggar hak kebebasan berpendapat dan berkespresi. Selain itu, memulihkan korban yang sudah terbukti dijerat pasal-pasal karet UU ITE adalah sebuah bentuk hak asasi yang harus dipenuhi dan dilakukan oleh negara sekarang, sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang juga sudah diratifikasi oleh Indonesia.
Untuk diketahui, anggota dari Koalisi Serius Revisi UU ITE ini antara lain Amnesty International Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ELSAM, Greenpeace Indonesia, ICJR, ICW, IJRS, Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia, Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar, KontraS, LBH Apik Jakarta, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers Jakarta, LeIP, Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), PBHI, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), PUSKAPA UI, Remotivi, Rumah Cemara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dan Yayasan LBH Indonesia (YLBHI).