Jakarta, Gatra.com - Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, Erik Kurniawan, mengungkapkan bahwa secara garis besar, pemilu di Indonesia hanyalah alat penguasa untuk memobilisasi rakyat dan membagi potongan-potongan kue kekuasaan kepada kelompok tertentu saja.
“Ada gejala pemilu hanya jadi ajang mobilisasi warga untuk memilih,” ujar Erik dalam diskusi daring bertajuk Platform Nyapres 2024: Peluang Tokoh & Koalisi Partai 2024 dalam Regenerasi Kepemimpinan Nasional setelah Berakhirnya Jabatan Presiden 2 periode, Rabu, (23/6).
“Belum ada kesadaran koletktif warga dalam memaknai pemilu sebagai mekanisme kontrol publik terhadap kekuasaan,” lanjut Erik.
Erik mensinyalir bahwa praktik politik uang dan penyebaran berita bohong alias hoaks menjadi akar masalahnya. Ia menilai bahwa dua hal tersebut menghadirkan interupsi terhadap kedaulatan suara pemilih.
“Sebenarnya itu hal yang lumrah, ya, ada di mana-mana, tetapi yang sangat kita sayangkan adalah transaksi politik antara penguasa dan konstituen itu jadi samar setelah pemilu,” tutur Erik.
Erik menilai bahwa pasca-pemilu, penguasa kerap kali cuek terhadap rakyat yang memilihnya. Sebagai akibatnya, ia menilai bahwa rakyat mendapat kesulitan untuk menagih pertanggungjawaban kepada penguasa.
Erik melihat bahwa dengan adanya situasi seperti itu, relasi antara penguasa dengan rakyat pun menjadi terputus. Padahal, ia memandang bahwa hubungan yang sehat antara penguasa dan rakyat adalah nyawa demokrasi.
Selain itu, Erik juga melihat pemilu Indonesia memiliki banyak restriksi atau halang rintang, terutama dalam menghadirkan tokoh publik alternatif sebagai calon pemimpin. Ia menilai semua ini adalah ulah dari diberlakukannya Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden.
“Ini perlu ada evaluasi terhadap pemberlakuan ambang batas. Kami sendiri melihat bahwa pemilu kita itu udah over-threshold. Ada ambang batas pencalonan presiden, ada ambang batas parlemen, ada ambang batas dapil, ada ambang batas penghitungan suara, ada ambang batas mendirikan partai,” ujar Erik.
“Jadi, banyak sekali halang rintang bagi masyarakat publik untuk melaksanakan hak politiknya,” katanya.