Jakarta, Gatra.com – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, menilai perdebatan yang berkembang mengenai rencana revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), cenderung aneh dan sudah liar. Padahal, dalam reformasi perpajakan terdapat berbagai macam tarif pajak pertambahan nilai (PPN), seperti PPN umum, PPN Multitarif, dan PPN final.
“Ironisnya, yang berkembang saat ini PPN ‘multitafsir’, yaitu tafsir seenaknya di luar batas kepatutan. Harus diakui, pemerintah sekarang ini serba salah, begini salah, begitu salah. Ini kan tidak fair juga,” kata Said dalam keterangannya, Senin (21/6).
Politisi PDI-Perjuangan itu menuturkan, selama ini nuansa berkeadilan hilang dari narasi perpajakan. Menurutnya, revisi perpajakan juga mencakup pajak lainnya, seperti pajak penghasilan (PPh) Badan, PPh Orang Pribadi, PPh Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), dan Carbon Tax.
“Bayangkan saja, di PPh Badan kita, ada 5 ribu lebih perusahaan menengah atas. Selama 5 tahun bahkan 10 tahun terus eksis, tetapi selalu mengaku rugi,” ungkapnya. Semestinya, jika lima tahun rugi, maka potensial bangkrut. Namun anehnya tidak bangkrut juga. Karenanya, terhadap perusahaan semacam ini perlu ada kewajiban pajak minimum yang dikenakan.
Lebih lanjut legislator dapil Jawa Timur XI ini menyebut kasus tadi mengindikasikan tingkat kepatuhan membayar pajak yang rendah. Karena itu, ia mendukung rencana pemerintah menaikkan tarif pajak dalam revisi KUP, sehingga mendorong reformasi perpajakan yang berkeadilan.
“Akan tetapi, harus ada skema dalam implementasinya, baik itu PPN umum, PPN Multitarif, dan PPN final. Tidak bisa digeneralisasi bahwa masyarakat bawah yang beli beras langsung kena PPN. Tidak seperti itu,” ujarnya.
Dia pun mengatakan, PPN Indonesia saat ini tergolong paling rendah se-Asia. Dijelaskannya, rata-rata negara di Asia mematok PPN sebesar 12%, sementara anggota G20 rata-rata sejumlah 17%.
Meski demikian, Said memastikan DPR belum secara resmi membahas revisi UU KUP. “Saya meminta publik tidak menafsirkan sepotong-sepotong isi draf tersebut. Karena persepsi yang berkembang multitafsir. Padahal DPR-nya belum membahas itu,” ujarnya.