Jakarta, Gatra.com - Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Otoritas Jasa Keungan (OJK) Tongam L. Tobing mengungkapkan bahwa Pinjaman online atau pinjol ilegal telah begitu meresahkan masyarakat. Pada kesempatan tersebut, Tongam merinci ciri-ciri pinjaman online Ilegal. Ciri pertama tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Saat ini ada 125 pinjol yang terdaftar di OJK dan nasabah yang ada pada saat ini mencapai 60 juta orang." jelas Tongam dalam Webinar Solusi Penanganan Pinjaman Online Ilegal yang disiarkan kanal Youtube Jasa Keuangan, Senin (21/06).
Ciri berikutnya, jelas Tongam, pinjol tersebut dapat meminjamkan dengan prosedur yang begitu mudah, yakni hanya bermodalkan KTP dan foto diri peminjam. Ciri lain adalah meminta peminjam memasukkan seluruh data kontak ponsel agar dapat diakses. Kemudian, lanjut Tongam, pinjaman yang didapat tidak manusiawi. Jumlah dana yang diterima mengalami potongan yang begitu besar dan juga dibebani bunga yang sangat tinggi. "Minjam satu juta, yang ditransfer hanya 600 ribu. Bunganya diperjanjikan contoh 0,5 persen per hari menjadi 2 persen per hari." Tongam mencontohkan.
Pinjol ilegal turut menjanjikan waktu peminjaman berbeda dengan yang disepakati di awal. Contohnya dijanjikan 90 hari menjadi hanya tujuh hari saja dan bila terlambat akan ditagih dengan cara-cara yang tak berperikemanusiaan. "Kalau sudah terlambat membayar, ada penagihan tidak beretika, teror, intimidasi dan pelecehan," ungkap Tongam.
Lebih lanjut, Tongam menjelaskan bahwa jumlah situs fintech p2p (peer to peer) lending ilegal yang telah diblokir OJK di sepanjang tahun 2018 hingga Juni 2021 mencapai 3.193. Selain itu, Tongam menambahkan bahwa pihaknya melakukan patroli siber setiap harinya bersama dengan Kominfo untuk memantau keberadaan pinjol ilegal.
Meski demikian, Tongam mengakui bahwa langkah semacm ini belum sepenuhnya efektif menghentikan kemunculan pinjol ilegal. Pasalnya, sekali pun telah diblokir, mereka akan kembali membuat situs atau aplikasi baru. “Dengan patroli ini, situs pinjol ilegal ini secara harian kami blokir sebelum ada yang akses. Namun, kita blokir hari ini, besoknya bikin yang baru. Makanya sangat sulit bagi kami kalau cuma memberantas dari sisi pelaku,” tambah Tongam.
Pada kesempatan tersebut, Tongam turut menyoroti sumber polemik pinjol ilegal yang juga datang dari sisi pengguna jasanya, yakni masyarakat. Dia menjelaskan bahwa ada dua tipe masyarakat yang berurusan dengan pinjol ilegal. Pertama, mereka yang tidak mengetahui terkait status ilegal dari pinjol tersebut. Kurangnya tingkat literasi menjadikan banyak dari mereka akhirnya terjerat utang di Pinjol Ilegal. "Tidak melihat daftarnya, pinjol ini ilegal atau tidak. Ada daftranya di website OJK," tegas Tongam.
Selanjutnya, tambah Tongam, rendahnya tingkat literasi juga menyebabkan banyak masyarakat yang mengizinkan datanya untuk bisa diakses pinjol ilegal. PAda akhirnya Pinjol Ilegal pun bisa melakukan teror penagihan yang tidak manusiawi melalui akses kontok-kontak yang berada di ponsel.
Tipe kedua, tambah Tongam, yakni masyarakat yang telah tahu status ilegalnya namun terdesak untuk meminjam karena dorongan masalah ekonomi. Permasalahan yang sering terjadi di kelompok ini adalah menjadikan pinjol sebagai tempat gali lubang dan tutup lubang utang mereka.
"Meminjam untuk menutup pinjaman lama. Ini yang menjadikan masalah. Kita lihat contohnya guru honorer di Semarang yang meminjam di 114 pinjaman online. Harusnya di pinjaman ketiga dia setop. Dan ada masyarakat yang sampai 141," ungkap Tongam. Tongam menegaskan, bahwa perlu adanya etika bagi masyarakat untuk meminjam. Ia menentang keras pinjaman yang digunakan untuk menutup pinjaman sebelumnya.
Sebagai penutup, Tongam menyampaikan tiga solusi yang ditawarkan oleh OJK terkait polemik ini. Pertama, pemblokiran situs atau aplikasi pinjol ilegal. Kedua, dari sisi masyarakat, OJK akan terus melakukan edukasi terkait pinjaman online. Terakhir, Tongam mengungkapkan akan perlunya Indonesia membuat Undang-Undang tentang Fintech. "Saat ini fintech landing ini bukan merupakan tindak pidana, karena memamng tidak ada UU yang mengatakan fintech ini secara formil mengatakan bahwa ini merupakan tindak pidana." pungkas Tongam.