Jakarta, Gatra.com – Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Yeni Rosa Damayanti, menyampaikan bahwa prinsip yang patut dijadikan acuan dalam memberlakukan hukuman pidana terhadap penyandang disabilitas mental bukanlah identitas si penyandang, melainkan situasi psikologis si penyandang pada saat dia melakukan tindak pidana.
“Disabilitas mental itu bersifat episodik atau kambuhan,” ujar Yeni dalam webinar bertajuk "Penyandang Disabilitas Bicara RKUHP: Membangun Hukum Pidana Materiil yang Sensitif Disabilitas" pada Jumat (18/6).
“Orang dengan disabilitas mental pada saat keadaan biasa-biasa saja, ya biasa saja. Namanya juga manusia. Bisa saja dia juga melakukan tindak pidana, sama seperti orang-orang lainnya,” imbuh Yeni.
Menurut Yeni, penetapan hukuman dalam Pasal 38 RKUHP tersebut tidak harus berdasarkan siapa pelakunya. Yang harus dijadikan pertimbangan hukum adalah kondisi psikisnya pada saat melakukan tindak pidana itu.
Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pidananya dapat dikurangi dan dikenai tindakan.”
“Jadi, bukan berdasarkan dia sebagai penyandang disabilitas mental, maka pidananya dikurangi. Enggak bisa,” ujarnya.
Yeni mengatakan bahwa apabila ketetapan itu berlaku, maka dampak yang akan terlihat adalah keadaan di mana penyandang disabilitas mental tersebut dianggap kurang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Yeni menambahkan bahwa kalaupun hukumannya tetap ingin dikurangi, maka itu bisa ditetapkan bukan berdasarkan identitas seseorang tersebut sebagai penyandang disabilitas mental. Ia menyarankan agar kondisi psikis si pelaku pada saat melakukan tindak pidana harus betul-betul diselidiki.
“Jadi intinya, hanya menjadi penyandang disabilitas saja tidak boleh menjadi asas pemaaf untuk mengurangi hukuman seseorang,” kata Yeni.