Home Ekonomi Budidaya Sapi di Riau Ramah Lingkungan Hidup

Budidaya Sapi di Riau Ramah Lingkungan Hidup

Pekanbaru,Gatra.com -  Ratusan ribu ternak sapi di Riau terhindar dari tudingan tidak ramah lingkungan. Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau, Rahmad Setiawan. 
 
Asal tahu saja, sektor pertenakan belakangan ini, terutama sapi, mendapat sorotan lantaran turut andil memicu pemanasan global. Ini lantaran kebutuhan akan lahan pengembalaan dan pengelolahan kotoran hewan. 
 
"Ini karena kotoran hewan ternak di Riau tidak terakumulasi pada satu usaha peternakan, dengan demikian terhindar dari penumpukan kotoran yang bisa memicu emisi metana," ungkapnya kepada Gatra.com di ruang kerjanya, di Pekanbaru, Kamis (17/6). 
 
Alih-alih terpusat pada satu tempat usaha ternak, budidaya ternak sapi di Riau lebih banyak digerakkan oleh masyarakat secara swadaya. Pembudidayaan secara swadaya tersebut membuat distribusi sapi beserta kotoranya lebih merata.
 
"Orang yang ternak sapi lima ekor, tentu tidak akan ditemukan gundukan kotoran. Kalau pun ada itu biasanya digunakan untuk tanaman pekarangan, itu pun kalau sapinya tidak dilepas begitu saja di pekarangan sawit. Kalau dilepas tentu kotoranya menyebar," urainya. 
 
Berdasarkan data Dirjen Pertenakan dan Kesehatan Hewan, Kementrian Pertanian, jumlah ternak sapi potong di Riau pada tahun 2020 ditaksir 202 ribu ekor. Angka itu meningkat dari populasi sapi potong pada tahun 2019 yang berjumlah 198.296 ekor. 
 
Dikatakan Rahmat, seiring meningkatnya sorotan terhadap lingkungan hidup, pihaknya telah menganjurkan pelaku budidaya sapi potong untuk menyediakan rumah pupuk kompos. Anjuran tersebut khususnya ditujukan pada usaha budidaya yang mencapai puluhan ekor dengan sistem kandang. 
 
Sebagai informasi selain kotorannya, sumbangsih gas metana (CH4) dari sapi ada pada sendawa hewan mamalia ini. Live Science melaporkan per tahunnya seekor sapi menghasilkan gas metana 120 kg, domba 8 kg, babi 1,5 kg, sedangkan manusia hanya 0,12 kg.
 
Adapun di Riau persoalan gas rumah kaca lebih banyak mendera usaha kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Kedua sektor usaha tersebut dituding menjadi biang dari penciutan hutan alam yang berperan menahan laju pemanasan global. 
 
Menurut LSM lingkungan,Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), sisa hutan alam di Riau saat ini hanya tinggal 1.442.669 hektare. Luasan tersebut jauh berkurang jika dibandingkan dengan tahun 1982 uang mencapai 6.727.546 hektare. Mirisnya sebagian besar hutan dikuasai korporasi. 
 
Rahmad menyebut, hingga kini pihaknya tidak mendapati adanya pembukaan lahan skala besar yang disengaja  untuk usaha ternak sapi di Riau. Hanya saja ia membenarkan banyak kebun sawit yang dimanfaatkan sebagai ruang gembala. 
 
"Tapi itu tidak optimal, lantaran jenis sawit  dan pola tanam yang tidak mendukung bagi integrasi budidaya sapi di kebun sawit. Misalkan jarak tanamnya yang rapat, itu membuat sinar mentari tidak optimal sampai ke tanah dan berimbas pada pertumbuhan rumput. Nah sekarang di Kalimantan digiatkan integrasi semacam itu tapi dengan pola tanam yang sudah mendukung,"tekannya.

 

 
381