Jakarta, Gatra.com– Beberapa kamp yang tersebar di hutan memiliki beberapa lusin orang, bahkan ada beberapa yang lebih dari seribu. Pengungsi itu diketahui hanya tidur di bawah lapisan terpal plastik untuk perlindungan dari hujan monsun Myanmar.
Dilansir dari kantor berita Reuters pada Kamis, (17/6) menurut orang-orang yang melarikan diri dari pertempuran baru-baru ini di negara bagian Kayah di Myanmar timur, Foung, makanan mereka menipis dan terdapat tanda-tanda penyebaran penyakit. “Beberapa anak menderita diare. Sulit mendapatkan air bersih di sini. Beberapa orang tidak sempat membawa nasi atau makanan,” ungkap Foung, 26 tahun, yang hanya menyebutkan satu nama karena takut akan pembalasan.
“Kami berdoa,” katanya, seraya berbagi foto terpal yang disampirkan di antara batu-batu besar di bawah pohon tempat ia sekarang tidur. Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan hampir 110.000 orang telah mengungsi di Kayah akibat kekerasan baru-baru ini. Di mana, total hampir 200.000 orang telah meninggalkan rumah sejak kudeta. Sejauh ini merupakan gerakan massa terbesar sejak eksodus tahun 2017 lalu dari 700.000 Muslim Rohingya dalam menghadapi serangan tentara.
Di sisi lain, kantor berita Reuters tidak dapat menghubungi junta Myanmar untuk memberikan komentar. “Beberapa orang dari desa-desa terpencil pulang ke rumah untuk mengambil karung beras dan barang-barang lainnya selama masa gencatan senjata, tetapi kebanyakan tidak berani tinggal,” ujar John Canaydy, dari sebuah desa dekat kota Demoso, pusat sebagian besar pertempuran.
“Tinggal di kamp lebih aman daripada tinggal di rumah kita sendiri," tambahnya, yang termasuk dalam daftar buronan junta karena ambil bagian dalam protes anti-militer. Dalam sebuah buletin pada hari Selasa, (15/6) Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan mengatakan upaya bantuan oleh kelompok nasional dan internasional untuk melengkapi pekerjaan masyarakat lokal belum cukup guna memenuhi semua kebutuhan.
Di samping itu, setidaknya 3 sukarelawan telah dibunuh oleh pasukan junta ketika mereka mencoba membawa bantuan, terang Banya Khung Aung, Direktur Kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) Karenni. “Sepertiga dari populasi sekarang berada di hutan,” tuturnya. “Pengabaian ini bisa memakan banyak nyawa,” imbuh Banya.