Jakarta, Gatra.com - Pengadilan terhadap pemimpin terguling Myanmar Aung San Suu Kyi akan mulai digelar pada hari ini, Senin (14/6). Hal ini bersamaan dengan militer yang menggulingkan pemerintah terpilihnya, menolak kritik oleh Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk HAM atas penggunaan kekuatan mematikan kepada pengunjuk rasa.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak junta merebut kekuasaan pada 1 Februari 2021 lalu dan menahan Suu Kyi serta anggota senior lainnya dari partainya. Di mana, memicu protes dan demo setiap harinya serta pertempuran antara angkatan bersenjata dan pasukan gerilya, etnis minoritas dan milisi, sebagaimana dilansir dari kantor berita Reuters pada Senin, (14/6).
Suu Kyi yang berusia 75 tahun itu, akan diadili pada hari ini atas tuduhan melanggar peraturan COVID-19 saat berkampanye untuk pemilihan yang telah dimenangkannya pada November lalu. Serta karena memiliki walkie-talkie tanpa izin.
Pengacaranya menuturkan, sidang pertama diperkirakan hendak berlangsung hingga akhir Juli mendatang. Peraih Nobel Perdamaian ini, Suu Kyi, juga menghadapi tuduhan lain yang lebih serius termasuk niat untuk menghasut, melanggar undang-undang rahasia resmi dan tuduhan menerima 600 ribu dolar Amerika Serikat (setara dengan 8,5 miliar rupiah) dan emas seberat 11,4 kg dari eks menteri utama Myanmar.
Tim hukumnya telah membantah melakukan kesalahan yang dilakukan oleh Suu Kyi. Adapun, Kepala Pengacaranya, Khin Maung Zaw, menyebut tuduhan korupsi terbaru itu "tidak masuk akal".
Sementara itu, Phil Robertson, Wakil Direktur Asia dari Human Rights Watch, mengatakan dalam sebuah pernyataan, bahwa tuduhan yang dihadapi Suu Kyi adalah "palsu dan bermotivasi politik" dan harus dibatalkan agar segera dibebaskan dengan tanpa syarat.
Tentara menerangkan, alasan mereka mengambil alih kekuasaan dengan paksa karena partai Suu Kyi memenangkan pemilihan melalui cara yang curang. Namun, tuduhan ini telah ditolak oleh komisi pemilihan sebelumnya dan pemantau internasional.
Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah kelompok aktivis, pasukan keamanan Myanmar juga telah menewaskan 862 orang sejak kudeta militer terhadap para pengunjuk rasa, meskipun junta telah membantah jumlahnya.
Di samping itu, pendukung pro-demokrasi tampak turun ke jalan-jalan di kota utama Yangon pada hari Senin, (14/6). Beberapa meneriakkan "perang revolusioner, kami berpartisipasi", menurut posting media sosial.
Beberapa aktivis mengungkapkan, mereka berencana untuk melakukan serangkaian pemogokan dan protes pada hari ini, (14/6) bertepatan dengan hari ulang tahun Che Guevara, seorang revolusioner Amerika Latin yang menjadi ikon internasional setelah kematiannya.
Kemudian, Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, Michelle Bachelet, menjelaskan pada hari Jumat, (11/6) bahwasanya kekerasan telah meningkat dan ia mengutuk penggunaan senjata berat yang "keterlaluan" oleh tentara Myanmar.
Ia pun mengatakan, junta tidak menunjukkan kesediaan guna menerapkan konsensus lima poin yang disepakati dengan ASEAN pada April lalu, untuk menghentikan kekerasan dan memulai dialog dengan lawan-lawannya.
Dalam siaran pers, Kementerian Luar Negeri Myanmar yang dipimpin oleh junta, menolak pernyataan Bachelet serta mempertanyakan keakuratan dan ketidakberpihakan laporan tersebut.
"Laporan itu tidak menyebutkan atau mengutuk tindakan sabotase dan terorisme yang dilakukan oleh asosiasi dan kelompok teroris yang melanggar hukum. Serta penderitaan dan kematian pasukan keamanan," katanya.