Solok,Gatra.com - Eksistensi Tikuluak (Salendang Bordir) Asli Cupak, kesenian keluarga yang melegenda turun-temurun tiga generasi hingga saat ini ikut terseret pandemi. Perajin berharap bisa bertahan dalam situasi sulit.
"Saat ini kebutuhan tikuluak (Salendang bordir) dengan motif original bisa dibilang langka, dan sulit ditemukan dipasaran, terlebih sejumlah pengrajin bordir saat ini lebih memilih motif biasa dan dipakai kebanyakan orang pada acara-acara adat,"ungkap pengrajin Tikuluak Asal Jorong Balai Pandan Nagari Cupak, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Widya Handayani kepada Gatra.com,Minggu (12/6).
Saat dikunjungi ditempat usahanya Widya mengatakan pembuatan tikuluak ini sudah dimulai tahun 1960an dari jaman neneknya hingga sekarang menjadi usaha keluarga yang dikelola bersama sang kakak.
Dalam proses pembuatan tikuluak ini pun masih menggunakan metode lama yaitu menggunakan mesin bordir manual, dan melahirkan motifnya serta juga mengikuti motif kekinian sesuai dengan permintaan pelanggan.
"Kami akan membuatkan tikuluak ini jika ada pesanan dari pelanggan, dan itu disesuaikan pula dengan selera masing-masing pelanggan, dan biasanya pesanan akan ramai pada acara adat seperti pesta pernikahan, kematian, kampanye, perayaan hari jadi Kabupaten Solok, acara-acara adat lainnya, serta ada juga dipakai untuk sehari-hari,"ungkapn Widya.
Widya juga menceritakan awal mula belajar tikuluak dari sang ibu yang secara turun-temurun didapatkan dari neneknya. "Memang butuh kesabaran dalam membuat Tikuluak ini, teelebih bagi saya sebagai pemula saat itu, karena seandainya lalai maka motif bordir yang dibuatpun tidak sesuai dengan bentuk yang diinginkan hingga membuat saya gigih belajar setiap harinya, dan hingga telaten dalam membuat tikuluak saat ini," ucap Widya.
Ia juga menyampaikan dalam setiap melahirkan tikuluak bordir, pengrajin lebih dituntut lihai dan teliti dalam pembuatannya, karena setiap motif tikuluak yang diciptakan, memiliki kesulitan tersendiri, terlebih sesuai dengan pesanan dan motif yang dinginkan pelanggan yang beragam.
"Tingkat kesulitan pada bordir manual terletak pada motif yang dibuat semakin banyak ukiran kecilnya, maka akan semakin sulit pula pembuatan motif tikuluak bordir tersebut, seperti halnya pada motif bunga Sanggua ini, motif bunga bucket, motif bunga ini lebih detail dan banyak ranting serta anakan bunga sehingga lebih hati-hati," terang Widya saat melihatkan detail tikuluak bordir buatannya.
Ia juga mengatakan dalam pemilihan motif bordir tikuluak pun, memang pelanggan juga banyak tertarik pada motif bordir bunga bucket dan dan motif sanggua ini, karena paduan warna benangnya yang bervariasi.
Ibu muda ini juga mengungkapkan pernah menerima pesanan tikuluak dalam partai besar berupa acara bundo kanduang sebanyak 50 helai tikuluak dengan proses pengerjaan selama 2 minggu. "ini termasuk dalam pengerjaan yang cukup cepat, karena dengan keterbatasan tenaga pengrajin, semua dikerjakan dalam waktu yang relatif singkat," katanya.
Akan tetapi saat ini ada sejumlah kendala dalam proses pembuatan tikuluak bordir miliknya, dari benang mulai sulit didapatkannya dipasar, dan bahkan sudah mencari hingga mencari Pasar Bukittinggi pun tidak didapatkannya.
"Akan tetapi tidak membuat saya putus asa, untungnya kemajuan teknologi saat ini membuat saya bisa kembali mendapatkan benang bordir dengan sistem online," ucapnya.
Serta untuk mengembangkan produk bordirnya ia tidak hanya fokus pada tikuluak bordir saja tetapi juga merambah gorden bordir untuk jendela rumah Gadang, mukenah, dan taplak meja, dan lainnya sesuai permintaan pelanggan.
Lebih lanjut Widya juga menambahkan, dalam pemasaran Tikuluak bordir miliknya, ia mematok harga mulai dari Rp 120.000 sesuai dengan model jahitan dan tingkat kesulitan motif dari masing-masing Tikuluak yang dipesan.
"Sebelum pandemi kami juga sempat banjir orderan tikuluak ini dan bahkan sempat kewalahan saat membuat tikuluak ini karena keterbatasan pengrajin, disini hanya 3 orang sementara pesanan banyak, dan untuk menyiasatinya kami tergetkan 1 orang bisa menyelesaikan minimal 2 tikuluak bordir perharinya, bahkan omset sebelum pandemi 6 helai sehari sekitar Rp 720.000," kata Widya.
Pemesan juga sempat datang dari luar Sumatera Barat, mulai Tanah Abang Jakarta sebanyak satu kodi dalam satu minggu, untuk acara fashion show adat, dan bahkan pertunjukan kesenian di Malaysia.
Akan tetapi saat ini turut terdampak pandemi. Pesanan mulai berkurang. Bahkan hanya 3 helai perharinya, karena mulai dibatasinya kegiatan-kegiatan di nagari sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Dalam kesempatan ini Widya juga berharap semoga usaha tikuluak bordir miliknya bisa selalu bisa berkarya, dan eksis meski ditengah pandemi mulai mengalami penurunan omset. "Semoga Tikuluak Bordir terus berkiprah, dan selalu menjaga eksistensi Tikuluak bordir Cupak setiap saat," tutupnya.