Jakarta, Gatra.com – Bocornya draf Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menjadi polemik di tengah kondisi sulit akibat pandemi Covid-19. Santer disebut bahan sembako bakal dikenakan pajak sehingga dianggap akan mencekik masyarakat kelas bawah.
Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, Yustinus Prastowo, menjelaskan, wacana tersebut merupakan bagian kecil dari konsep RUU yang dipotong sehingga bunyinya terlepas dari makna aslinya.
Ia mengatakan, memang ada satu pasal dalam draft itu yang disebutkan bahan kebutuhan pokok bukan lagi barang yang dikecualikan dari objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Seolah-olah, kata dia, karena dihapuskan maka akan dikenakan PPN 12%.
Menurutnya, ada distorsi dalam polemik itu. Ia lantas mengatakan, barang yang strategis atau digunakan paling banyak dan dibutuhkan masyarakat tidak akan terkena PPN.
"Saya beri contoh beras premium, kalau beli satu kilogram Rp50 ribu, enggak kena PPN. Kalau beli di pasar tradisional, satu kilogram Rp10 ribu itu enggak kena PPN. Beli daging segar wagyu di supermarket itu tidak kena PPN, sama juga kalau beli ayam potong di pasar tradisional tidak kena PPN," kata Yustinus dalam diskusi bertajuk "Publik Teriak, Sembako Dipajak" pada Sabtu (12/6).
Sebenarnya, sambung dia, ruang yang ingin diciptakan pemerintah yakni keadilan dalam mendapatkan barang atau jasa, salah satunya dengan skema tarif. Ia menjelaskan, sejauh ini ada tarif tunggal sebesar 10% yang dipukul rata terhadap barang dan jasa, tidak peduli kemampuan atau daya beli konsumennya. Sekarang, kata dia, disediakan konsep multitarif.
"Bagi barang yang hanya bisa dikonsumsi oleh kelompok atas disediakan ruang, bisa kena 15%-20%. Bagi barang yang dibutuhkan masyarakat banyak, yang sekarang kena 10%, misalnya susu formula itu justru nanti bisa dikenai 5%. Dan barang-barang strategis lain dibutuhkan masyarakat untuk kepentingan umum bisa dikenakan PPN final, katakanlah 1%, 2% atau bahkan nanti bisa dimasukkan ke kategori tidak dipungut PPN sehingga 0%," papar dia.
Kabar soal bahan sembako di pasar tradisional bakal tetap kena PPN terendah sebesar 1% dari multitarif itu disebut Yustinus masih sebuah alternatif. Memang, pemerintah bakal menyediakan skema tarif dari tinggi, normal, rendah, final 1%-2%, sampai tidak dipungut sama sekali. Skema itu masih dalam rancangan.
Yustinus memastikan bahwa pemerintah tidak akan memutuskan sendirian. Draf itu disodorkan ke DPR dan akan dibahas dengan pelaku bisnis, pakar, yang nantinya akan menentukan jenis, harga, dan klasifikasi atau segmen barang yang akan dipungut pajak.
Menurutnya, pemerintah tak punya alibi menambah penerimaan pajak dari kebutuhan pokok. Ia mengklaim skema ini dibuat dalam konteks keadilan dan untuk membenahi administrasi perpajakannya.
"Karena kita percaya masih banyak jenis barang dan jasa lain di luar bahan pokok yang bisa dikenai pajak yang itu lebih fair bagi semua," ujarnya.