Sarolangun, Gatra.com – Deputi II bidang pembangunan manusia Kantor Staf Presiden, Abetnego Tarigan, menilai bahwa berbagai persoalan warga Suku Anak Dalam (SAD) di Provinsi Jambi, termasuk di Kabupaten Sarolangun saat ini, adalah persoalan membangun ruang hidup dan akses kebutuhan dasar bagi mereka.
Persoalan teranyar kembali muncul pascamereka melapor kepada Komnas HAM dan menuntut agar hutan yang diklaim sebagai tanah ulayatnya segera dikembalikan. Lahan tersebut saat ini menjadi konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit milik PT Sari Aditya Loka (SAL) di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun.
"Terkait penyelesaian masalah ini, saya agak sulit menyebutnya hak atas tanah. Karena di dalam konteks Suku Anak Dalam, dalam beberapa referensi yang kami dapat, Suku Anak Dalam mengenal ruang hidup sebenarnya bukan persis seperti yang kita bayangkan, seperti ada SHM sertifikat hak milik atas tanah, tetapi ruang hidup yang kita lihat," katanya di Sarolangun saat menemui warga SAD pada Kamis (10/6).
Menurut dia, kenapa hal ini sangat sulit penanganannya, karena yang mereka perjuangkan itu adalah ruang hidup. "Bukan itu tadi, tetapi kan bukan berarti mereka akan selamanya ke sana," ujarnya.
Selain itu, kalau dilihat dari problem atau masalah dari Suku Anak Dalam (SAD) itu multi dimensi. Jadi, ujarnya, mulai dari akses mereka terhadap kebutuhan dasar.
"Mulai dari kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Termasuk juga yang paling kompleks itu berkaitan dengan ruang hidup tadi. Nah, ini kan kita tahu bahwa saudara-saudara kita di Suku Anak Dalam itu memang punya keunikan tersendiri dibandingkan kita yang lain," katanya.
Dia menyebut, misalnya masih sering hidup berpindah, atau biasa orang menyebutnya nomaden dan juga hidup di wilayah-wilayah jelajah mereka. Nah, tentu ini membutuhkan suatu tantangan.
"Kami dalam kesempatan ini ingin melihat apa rencana tindakan dan tindakan-tindakan yang telah dilakukan," ujarnya.
Ia menjelaskan, misalnya pada 2018, pihaknya mendorong untuk seluruh wilayah di Provinsi Jambi melakukan pendataan administrasi Suku Anak Dalam ini. Waktu itu banyak sekali para bupati mengatakan susah karena mereka berpindah-pindah.
Tetapi sebenarnya esensinya ini bukan berpindahnya, melainkan sejauh mana kreativitas pemerintah daerah untuk melakukan pendataan supaya Suku Anak Dalam secara administrasi pemerintahan itu juga setara dengan yang lain.
"Karena kita tahu, untuk akses-akses kebutuhan dasar yang dalam bentuk-bentuk program pemerintah, semuanya berbasis Kartu Tanda Penduduk (KTP). Karena kalau pemberian tanpa basis KTP, itu bisa indikasinya korupsi," kata Abetnego Tarigan.
Menurut dia, jangan sampai program-program untuk keluarga miskin, itu justru tidak tepat sasaran, yakni mereka tidak menerima bantuan karena ketiadaan administrasi kependudukannya.
"Syukur alhamdulillah sekarang sudah bergerak, angka-angkanya terus naik. Memang mereka akan sulit megang KTP, terapi tidak ada sulitnya juga dititipi di kantor kepala desa," katanya.
Sedangkan jika ada SAD sakit, harusnya bisa dikirimkan atau berobat ke semua puskesmas di Sarolangun. "Saya pasti sudah punya BPJS, tanpa saya harus pegang-pegang KTP atau kartu BPJS. Karena sudah terdata secara administrasi pemerintah," katanya.
Ini hanya persoalan tehnis yang bisa dikembangkan oleh pemerintah daerah. Beberapa pemerintah daerah pun sudah mulai bergerak. "Tetapi kami melihat memang belum lengkap semuanya. Jadi, ini bagian dari proses semuanya."
"Makanya tadi, pak Bupati, menyinggung itu buat saya. Saya catat untuk melihat sejauh mana perkembangannya," ujar dia.
Sedangkan ketika ditanya akankah ada rekomendasi dari KSP terkait permasalahan warga Suku Anak Dalam terhadap perusahaan tersebut, ia mengatakan, bukan lagi bentuknya rekomendasi tetapi sudah dilakukan.
"Sudah kita lakukan, makanya ada pergerakan sekarang. Saya mau melihat perkembangannya sejauh apa, bukan rekomendasi lagi, ini sudah tindaklanjutnya," kata dia.
Nanti, katanya, kemungkinan apakah pergerakan akses mereka terhadap perlindungan sosial, yaitu ada dua, bansos dan jaminan sosial. "Jaminan sosial itu BPJS, misalnya kalau bansos itu ya PKH, rastra, dan lain sebagainya."
Karena dahulu juga dalam proses pasti akan ada, tadi Abetnego Tarigan menyampaikan ada sekitar 50% sudah bisa asimilasi. Artinya, bisa menyesuaikan dengan perkembangan praktik kehidupan yang ada sekarang, misalnya sudah bisa tinggal menetap.
"Saya kemarin pak bupati juga sudah menyampaikan bahwa anak-anak sudah mulai mau tinggal di rumah, belajar, dan lain sebagainya," kata Abetnego Tarigan.