Home Ekonomi Kajian Ini Sebut Kebijakan Zero ODOL Bisa Bikin Kenaikan Harga Barang

Kajian Ini Sebut Kebijakan Zero ODOL Bisa Bikin Kenaikan Harga Barang

Jakarta, Gatra.com – Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Sigit Priyanto, menilai pemberlakuan larangan angkutan barang yang over dimension over loading (ODOL) ibarat dua sisi mata uang. Berdasarkan hasil kajian Sigit dan timnya, kebijakan yang akan berlaku mulai 1 Januari 2023 ini dapat mengakibatkan kenaikan harga barang.

“Namun di sisi lain, penerapan zero ODOL dapat menghemat anggaran pemerintah untuk perbaikan jalan. Jadi ini memang dua sisi mata uang yang harus diseimbangkan,” katanya dalam Diskusi Media bertajuk ‘Kebijakan Zero ODOL, Kesiapan Industri dan Tantangan Menjaga Pertumbuhan Ekonomi di Tengah Pandemi Covid-19’, Kamis (10/6).

Ketua Tim Studi Zero ODOL itu menambahkan, banyaknya truk ODOL menyebabkan biaya pemeliharaan jalan di Indonesia makin besar. Selain itu, juga meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas di jalan raya.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebut, kerusakan jalan akibat ODOL memicu peningkatan anggaran untuk perbaikan jalan nasional, jalan tol, dan jalan provinsi dengan rata-rata Rp43,45 triliun per tahun.

Meski demikian, kebijakan Zero ODOL juga bisa membuat penurunan efisiensi pada aktivitas jasa transportasi darat dan logistik. Menurutnya, setiap 1% inefisiensi tersebut akan menyebabkan penurunan produk domestik bruto (PDB) riil Indonesia sebesar 0,057%.

“Dari sisi ekonomi, kenaikan biaya transportasi tadi ujung-ujungnya menyebabkan kenaikan harga barang, sehingga PDB turun,” ungkapnya.

Lebih lanjut Sigit menuturkan, jika kebijakan Zero ODOL diterapkan pada 2023, membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pasalnya, pengusaha yang biasanya memakai satu truk untuk membawa barang, nantinya harus menggunakan 1,5 hingga 2 truk.

“Kalau kita dipaksa langsung semua harus jadi Zero ODOL, memang tidak murah untuk mengubah ukuran truk-truk ini menjadi tidak ODOL. Itu butuh duit yang banyak, padahal situasinya masih pandemi, yang menyebabkan pendapatan turun,” katanya.

"Biaya yang ditanggung industri pasti membengkak dan mereka semakin terpukul. Jika industri terpukul, ini jelas akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi kita,” katanya. 

Seperti diketahui, sektor industri ini menyumbangkan 20% terhadap PDB nasional. Karenanya, diperlukan upaya bagaimana caranya supaya ada win-win solution yang tidak merugikan salah satu stakeholder dalam menjalankan Zero ODOL ini.

Menurut Sigit, itu juga dilakukan di Afrika, Thailand, Tiongkok, yang juga punya permasalahan yang sama dengan Indonesia, tetapi mereka sudah bisa menyelesaikan dengan membicarakannya secara bersama antara industri, transporter, dan juga pemerintah. 

Karena itu, Sigit mengusulkan perlunya studi yang lebih detail terkait berbagai unefisiensi dalam pengangkutan barang di Indonesia sebelum Zero ODOL ini benar-benar diterapkan. 

Sementara itu, para pelaku industri mengakui tetap mendukung pemerintah untuk mewujudkan Zero ODOL. Hal itu dibuktikan dari persiapan-persiapan yang telah dilakukan saat ini.

Sayangnya, pandemi Covid-19 yang berlangsung selama hampir 2 tahun, telah membuat kondisi industri menjadi porak poranda. Mereka pun hanya meminta kepeda pemerintah agar diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk memulihkan kondisi dan menunda lagi penerapan ZERO ODOL ini hingga 2025 mendatang. 

Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Rachmat Hidayat, mengutarakan, pandemi Covid-19 telah menurunkan utilitas industri makanan dan minuman menjadi sekitar 60%dari sebelumnya sekitar 80%.

“Bayangkan, 20-an persen itu nganggur. Akibatnya, barang yang mau diangkut transporter, logistik, itu enggak ada. Jadi truknya nganggur juga. Terus kemudian terjadi commodity crisis karena barang jadi langka. Kondisi ini mengakibatkan penjualan menurun, cost naik, profit anjlok. Jadi ini adalah situasi suram,” ujarnya. 

Anggota Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Bidang Kebijakan Publik, Agung Utomo, menyampaikan, industri kelapa sawit  akan mengalami kenaikan ongkos angkut senilai Rp32,4 triliun setahun akibat kebijakan Zero ODOL.

Sementara itu, lanjut dia, selama pandemi, produksi minyak sawit (CPO) asal Indonesia tercatat mengalami penurunan. Pembatasan aktivitas menyusul diterapkannya kebijakan lockdown yang dilakukan beberapa negara pengimpor minyak sawit guna memutus sebaran pandemi, juga telah memperlambat distribusi.  

Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP), Yustinus Gunawan, juga mengatakan penerapan Zero ODOL akan menaikkan biaya logistik di industri kaca sebesar 23%. Dia mengutarakan, butuh waktu setahun untuk memulihkan operasional industri akibat pandemi Covid-19.

Sebelumnya, Biro Pusat Statistik mencatat akibat pandemi Covid-19, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 2,07%. Dari sisi produksi, kontraksi pertumbuhan terdalam terjadi pada lapangan usaha transportasi dan pergudangan sebesar 15,04%.

Sementara itu, dari sisi pengeluaran hampir semua komponen terkontraksi. Ekspor barang dan jasa menjadi komponen dengan kontraksi terdalam sebesar 7,70%. Adapun impor barang dan jasa yang merupakan faktor pengurang, terkontraksi sebesar 14,71%.

305