Jakarta, Gatra.com– Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi, Wijayanto, mengungkapkan sebuah ironi di mana demokrasi justru dirusak oleh politisi sipil yang terpilih secara demokratis dalam ajang pemilu. “Kemunduran demokrasi ini bukan dilakukan oleh kudeta militer. Namun, justru terjadi karena politisi sipil yang terpilih secara demokratis yang justru mencederai nilai-nilai demokrasi,” ujar Wijayanto dalam webinar bertajuk Kemunduran Demokrasi dan Intervensi Negara ke Civil Society yang digelar oleh LP3ES pada Rabu, (9/6).
“Politisi sipil yang terpilih secara demokratis justru mengabaikan oposisi, media independen, dan memberangus masyarakat sipil,” imbuh Wijayanto. Wijayanto menyinggung kemunduran demokrasi yang dialami Indonesia dalam beberapa tahun belakangan. Ia merujuk pada rilis indeks demokrasi yang dikeluarkan oleh The Economic Intelligence Unit (EIU) tahun lalu.
Dalam rilis tersebut, Indonesia disebut mengalami kemerosotan indeks demokrasi dengan memperoleh nilai 6,3 dan menempati peringkat 64 di dunia sehingga dikategorikan sebagai demokrasi cacat (flawed democracy). Rilis indeks tersebut juga memaparkan nilai dari instrumen kebebasan sipil. Dalam instrumen tersebut, Indonesia memperoleh nilai 5,59. “Kebebasan sipil ini perlu mendapat catatan yang sangat serius karena memang itu situasinya yang kita hadapi hari ini,” ujar Wijayanto.
Sebagai contoh, Wijayanto merujuk pada hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada tahun 2020 kemarin. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa bahwa sebanyak 47,7% responden menyatakan agak setuju bahwa warga semakin takut menyatakan pendapat. Lalu sebanyak 21, 9% responden menyatakan sangat setuju bahwa warga semakin takut menyatakan pendapat. “Jadi hampir 70% setuju warga makin takut menyatakan pendapat,” pungkas Wijayanto.