Home Ekonomi CISDI: Konsumsi Rokok Bebani Ekonomi Rp27,7 Triliun pada Sistem Kesehatan dan JKN

CISDI: Konsumsi Rokok Bebani Ekonomi Rp27,7 Triliun pada Sistem Kesehatan dan JKN

Jakarta, Garta.com – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyampaikan bahwa ?kebiasaan merokok menyebabkan beban ekonomi sistem kesehatan di Indonesia dan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)? mencapai Rp27,7 triliun rupiah pada 2019.

Chief Strategist CISDI, Yurdhina Meilissa, dalam keterangan tertulis pada Selasa (8/6), menyampaikan, angka tersebut merupakan hasil studi pihaknya. Angka tersebut meningkat dibanding perhitungan sebelumnya yang dilakukan Soewarta Kosen dkk. pada 2017. Pada tahu itu, angkanya Rp13,7 triliun atau setara Rp15,7 triliun rupiah pada 2019 setelah memperhitungkan inflasi.

Studi ini mengidentifikasi biaya yang dikeluarkan untuk mengobati penyakit-penyakit mematikan akibat merokok. Penyakit tersebut dapat dicegah kalau tidak melakukan kebiasaan buruk tersebut.

Yurdhina menyampaikan, biaya rawat inap dan perawatan rujukan menjadi komponen pembiayaan tertinggi dengan cakupan mencapai 86,3-87,6% dari keseluruhan beban biaya yang harus ditanggung BPJS Kesehatan. Dengan demikian, BPJS Kesehatan perlu mengalokasikan setidaknya antara Rp10,5-15,5 triliun untuk menambal beban biaya kesehatan akibat penyakit yang ditimbulkan rokok. Angka tersebut merepresentasikan sekitar 61,76 hingga 91,8% dari total defisit JKN pada 2019 lalu.

"Studi ini dilakukan dengan metodologi standar yang dipakai Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menghitung pengeluaran biaya kesehatan langsung yang terkait perilaku merokok (smoking attributable direct expenditure/SDE)," ujarnya.

Yurdhina melanjutkan bahwa pihaknya menggunakan data terkini dari RISKESDAS (2018), SUSENAS (2018-2019), dan data administratif BPJS Kesehatan (2019). Sayangnya, data yang tersedia di Indonesia tidak memungkinkan bagi CSDI untuk mendapatkan angka relative risk untuk Indonesia sehingga pihaknya harus merujuk ke beberapa angka dari negara lain, seperti India dan Amerika Serikat.

Menurutnya, apabila BPJS Kesehatan mencantumkan data kebiasaan merokok pada data kepesertaan BPJS dan Badan Pusat Statistik (BPS) serta Kementerian Kesehatan melengkapi data survei nasional dengan variabel terkait kebiasaan merokok individu, termasuk merek rokok yang dikonsumsi, harga rokok, dan jumlah konsumsi rokok harian, institusi riset ataupun pemerintah akan lebih mudah menghasilkan perhitungan yang tepat untuk pengambilan keputusan.

"Semoga data mengenai variabel-variabel tersebut bisa tersedia untuk publik di masa depan," kata Yurdhina.

Konsumsi rokok menyebabkan risiko tinggi terhadap kesehatan populasi nasional, sumber daya manusia, dan pembangunan ekonomi. Aktivitas merokok merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Kematian akibat penyakit terkait rokok setidaknya mencapai 21% dari total penyakit kronis di Indonesia.

Dengan jumlah perokok di usia muda yang terus naik, penelitian ini menyebut pada masa depan beban biaya kesehatan akan semakin membesar. Sementara itu, cukai produk tembakau kerap dianggap memberikan “sumbangan” finansial bagi sistem kesehatan melalui mekanisme Pajak Rokok Daerah dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Tetapi, studi ini membuktikan beban yang ditanggung akibat penyakit yang ditimbulkan rokok terhadap total populasi jauh lebih tinggi dari alokasi maksimum Pajak Rokok Daerah dan DBHCHT yang hanya sebesar Rp7,4 triliun.

Sementara itu, principal investigator dari studi ini Teguh Dartanto, menyampaikan, anggapan bahwa industri rokok membantu JKN melalui Pajak Rokok Daerah dan DBHCHT itu salah total. Sebab, keduanya hanya mengalokasikan kurang dari Rp7,4 triliun untuk JKN dari total kerugian terhadap sistem kesehatan yang bisa mencapai Rp27,7 triliun.

Direktur Health Policy Center untuk The University of Illinois Chicago, Frank Chaloupka, yang mendanai studi ini, mengapresiasi riset ini dengan menyebut Indonesia bisa belajar dari beberapa negara dalam mengupayakan strategi pengendalian tembakau yang baik.

"Beberapa negara berpendapatan tinggi, seperti Britania Raya dan Australia melakukan inisiatif yang baik. Namun, Indonesia bisa meniru Filipina, negara ekonomi berkembang, yang berhasil mengendalikan tembakau dengan strategi yang sangat adaptif untuk menurunkan keterjangkauan harga dan melakukan soft-earmarking cukai rokok untuk Jaminan Kesehatan Nasional," katanya.

Penasihat Senior Gender dan Pemuda untuk Dirjen WHO sekaligus Pendiri CISDI, Diah Saminarsih, ?menyebutkan bawa WHO mendorong Indonesia untuk meratifikasi FCTC dan menyediakan dukungan teknis untuk implementasi kebijakan cukai rokok yang berpihak pada kesehatan masyarakat.

"Studi ini memberikan sinyal bahwa kebijakan nasional saat ini perlu diperkuat dengan mempertimbangkan temuan data yang baru. Sambil menunggu amandemen kebijakan, peran serta komunitas melalui layanan kesehatan primer transformatif perlu didorong untuk mencapai dampak kesehatan populasi, terutama melalui kebijakan pengendalian konsumsi rokok yang non-harga," katanya.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, dr. Slamet, MHP, mengatakan, rokok bukan makanan danberbahaya sehingga konsumsinya harus ditekan. Kementerian Kesehatan telah melakukan intervensi yang termasuk tupoksinya: penerapan KTR, perluasan pictorial health warning, pembudayaan GERMAS, hingga perluasan layanan konseling UBM via telepon tidak berbayar.

"Apabila intervensi kami didukung oleh Kementerian Keuangan dalam bentuk kebijakan harga, tentu saja konsumsi rokok akan semakin bisa ditekan," ujarnya.

Atas dasar itu, CISDI merekomendasikan beberapa rekomendasi kebijakan yakni tetapkan kenaikan tarif cukai rokok yang tinggi dan cepat sekaligus sederhanakan tarif cukai rokok.

Kenaikan tarif cukai yang hanya berkisar pada 12,5% pada 2021 lalu terbilang tidak efektif meningkatkan status kesehatan, jika dibandingkan kenaikan cukai sebesar 23,8% pada 2020. Selain itu, cukai tembakau yang diterapkan dalam struktur tarif cukai yang rumit saat ini justru mendorong perokok mengonsumsi produk rokok lain yang lebih murah, alih-alih menghentikan aktivitas merokok.

Kementerian Keuangan perlu mengembalikan peta jalan simplifikasi tarif cukai untuk memungkinkan penyederhanaan tarif cukai sesederhana mungkin.

Rekomendasi selanjutnya, yakni mengalokasikan pendapatan cukai tembakau untuk JKN. Penerapan cukai untuk pengendalian konsumsi tembakau dianggap merupakan upaya paling efektif untuk mengurangi konsumsi rokok dan beban biaya kesehatan yang diakibatkan rokok sekaligus meningkatkan pendapatan finansial untuk JKN.

Berdasarkan keterangan ini, pemerintah perlu memperbarui kebijakan alokasi Pajak Rokok Daerah dan DBHCHT dalam Peraturan Presiden tentang JKN dan Peraturan Kementerian Keuangan tentang DBHCHT.

Rekomendasi terakhir, membatasi ruang gerak industri tembakau melalui kebijakan non-harga. Di saat bersamaan, pemerintah juga perlu membatasi ruang gerak industri tembakau melalui pelarangan iklan rokok, penetapan kawasan tanpa rokok, dan meluaskan jangkauan penggunaan gambar peringatan kesehatan pada kemasan produk-produk rokok, sekaligus melaksanakan upaya pengendalian tembakau lainnya.

344