Yogyakarta, Gatra.com – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mohammad Mahfud MD menyatakan dia mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun atas kondisi KPK saat ini, ia menyebut keputusan bukan hanya di tangan pemerintah.
“Saya sejak dulu pro KPK. Waktu saya di MK (Mahkamah Konstitusi), 12 belas kali KPK mau dirobohkan lewat undang-undang, saya menangkan KPK terus,” ujar Mahfud saat berdialog bersama pimpinan perguruan tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Sabtu (5/6).
Namun, menurut Mahfud, perkembangan di KPK saat ini bukan hanya ditentukan oleh pemerintah. “Tapi keputusan tentang KPK tidak terletak di pemerintah saja, (tapi) ada di DPR, ada di partai, di civil society yang pecah juga,” lanjut mantan Ketua MK ini.
Saat ini KPK dinilai mengalami pelemahan sejak UU KPK direvisi hingga pemberhentian sejumlah pegawai melalui tes wawasan kebangsaan (TWK).
Mahfud lantas menceritakan pengalamannya diperiksa sebagai saksi oleh penyidik KPK Novel Baswedan--yang turut tak lolos TWK. Menurutnya, Novel mengapresiasi Mahfud yang bersedia diperiksa.
“Kalau pemimpin seperti bapak, beres negara ini,” ujar Mahfud menirukan ucapan Novel kala itu. Mahfud pun membalas, “Kalau saya jadi presiden, anda jaksa agung.”
Hanya saja, kata Mahfud, sejumlah orang menganggap Novel sosok politis. “Orang partai tertentu yang jelas kesalahannya, dibiarin. Ini kata orang ya. Yang ditembak partai-partai ini saja, misalnya. Ada orang yang mengatakan begitu,” ujarnya.
Dalam pertemuan ini, Mahfud juga menyatakan korupsi saat ini lebih gila dan makin luas dari masa Orde Baru. Namun kondisi ini merupakan buah dari penerapan demokrasi dan "limbah" dari periode pemerintahan sebelumnya.
Ia mencontohkan sejumlah warisan "limbah" itu antara lain kasus BLBI, penguasaan tanah oleh asing, hingga kontrak Freeport. “Dulu Orba korupsinya terkoordinir, tapi sekarang semua korupsi sendiri-sendiri,” tuturnya.