Jakarta, Gatra.com - Kepala Bareskrim Polri, Komisaris Jenderal Polisi Agus Andriyanto merespons aduan Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri. Firli diadukan ke Bareskrim Polri atas dugaan penerimaan gratifikasi.
Agus menyatakan, kasus itu merupakan ranah KPK dan sudah ditangani oleh Dewan Pengawas (Dewas) lembaga antirasuah. Ia bahkan mengisyaratkan bahwa pihaknya tak ingin ikut campur urusan tersebut, meski Firli masih tercatat sebagai anggota berpangkat komisaris jenderal polisi.
"Jangan tarik-tarik Polri. Saat ini kita fokus kepada penanganan dampak Kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional pandemi Covid-19 dan investasi," kata Agus melalui pesan WhatsApp kepada wartawan, Jumat (4/6).
Saat ditanya terkait dokumen pengaduan yang sudah diberikan ke jajarannya, Agus juga tak akan menindaklanjutinya. "Nanti kita kembalikan ke Dewas saja, kan sudah ditangani," tutup dia.
Pada Kamis (3/6), Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah melaporkan Firli Bahuri ke Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri. Wana menyebut ada dugaan gratifikasi yang diterima Firli saat menyewa helikopter untuk perjalanan pribadi ke Ogan Komering Ulu, Baturaja pada 20 Juni 2020 lalu. Pihaknya mengaku dapat informasi bahwa harga sewa helikopter itu tidak sesuai dengan yang disampaikan oleh Firli ketika sidang etik dengan Dewas.
Di dalam sidang etik tersebut, Firli menyampaikan bahwa harga sewa helikopter itu sebesar Rp7 juta per jam, belum termasuk pajak. Ia mengklaim telah menyerahkan total Rp30,8 juta untuk membayar penyewaan itu selama empat jam kepada penyedia helikopter, yakni PT Air Pasifik Utama (APU). Wana mengaku mendapatkan informasi tambahan dari penyedia jasa lainnya bahwa harga sewa per jam ternyata sekira Rp39,1 juta. Artinya, jika ditotal ada sebesar Rp172,3 juta yang harusnya dibayar oleh Firli selama menyewa empat jam.
"Jadi, ketika kami selisihkan harga sewa barangnya ada sekitar Rp141 juta, sekian juta yang diduga itu merupakan dugaan penerimaan gratifikasi atau diskon yang diterima oleh Firli. Dan kami melakukan korespondensi juga dengan penyedia jasa heli tersebut," jelas dia.
Wana melihat adanya dugaan konfik kepentingan terkait dengan penyedia yang menyewakan helikopternya. Ketika pihaknya menginvestigasi ditemukan bahwa salah satu komisaris yang ada di dalam perusahaan PT APU, RHS, pernah dipanggil menjadi saksi dalam kasus Bupati Bekasi, Neneng, terkait dengan dugaan suap pemberian izin di Meikarta.
Ia juga menduga bukti kepemilikan atau kwitansi yang diperiksa oleh Dewas pun tidak dicek kembali ke beberapa penyedia jasa layanan helikopter. Ia mengatakan ada sembilan perusahaan jasa helikopter yang sebenarnya berpeluang untuk disewa oleh ketua KPK itu. Lantas, ia mempertanyakan kenapa Firli memilih APU.
Dalam konteks tersebut, Wana melanjutkan, pihaknya mengidentifikasi bahwa apa yang telah dilakukan Firli terkait dengan dugaan penerimaan gratifikasi ini telah masuk dalam dalam pelanggaran Pasal 12B UU Nomor 31/1999 juncto UU Nomor 20 tahun 2001.
"Kami tadi mendatangi Dirtipidkor Mabes Polri dan diterima oleh Dirtipidkor. Dan mereka akan melakukan identifikasi dan proses lebih lanjut terkait dengan kasus yang kami sampaikan," Wana menjelaskan.
Adapun bukti yang disampaikan berupa korespodensi antara ICW dengan salah satu penyedia helikopter. ICW pun mengidentifikasi berdasarkan akte perusahaan yang dimiliki oleh PT APU.
Terkait motif pemberian diskon yang merupakan dugaan gratifikasi itu, Wana mengaku belum mendapatkan informasi lebih lanjut. Namun, katanya, satu hal yang pasti adalah secara background, tahun 2018, Firli menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK kemudian di tahun yang sama kasus Meikarta itu juga sedang ditangani.
Pihak yang dilaporkan hanya Firli karena diduga menerima gratifikasi. Laporan itu juga masih dalam bentuk pengaduan, sebab Bareskrim belum menerbitkan laporan polisi.