Jakarta, Gatra.com – Jumlah kasus infeksi Covid-19 di Indonesia disebutkan berkali-kali lipat daripada angka resmi yang disampaikan pemerintah. Hal tersebut dirilis oleh media Reuters.
Kesimpulan tersebut muncul berdasarkan dua hasil studi seroprevalensi yang menguji antibodi SARS-CoV-2 masyarakat Indonesia. Seroprevalensi mengacu pada jumlah individu dalam suatu populasi yang menunjukkan hasil positif untuk penyakit tertentu berdasarkan spesimen serologi (serum darah).
Satu studi nasional antara Desember sampai Januari, menunjukkan 15% orang Indonesia telah tertular Covid-19. Padahal, angka resmi kasus infeksi Covid-19 yang dilaporkan hingga akhir Januari hanya sekitar 0,4% orang.
Per 4 Juni 2021, laman covid19.go.id mencatat ada 1.837.126 kasus positif terkonfirmasi, atau baru sekitar 0,7% dari jumlah penduduk Indonesia.
Ahli wabah Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono mengatakan hasil studi tidak terduga tadi diberikan di bawah pelaporan tim epidemiolog UI yang melakukan penelitian atas bantuan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Sementara itu, juru bicara Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan studi ini kemungkinan masih awal. Namun, bisa jadi jumlah kasus sebenarnya lebih banyak daripada angka resmi karena banyak kasus tanpa gejala. Dia menambahkan, Indonesia memiliki pelacakan kontak yang rendah dan hanya sedikit laboratorium untuk memproses tes.
Berdasarkan tes darah, studi seroprevalensi mendeteksi antibodi yang muncul pada orang yang kemungkinan besar sudah terjangkit penyakit tersebut. Adapun angka resmi, sebagian besar didasarkan pada tes swab, yang mendeteksi virus itu sendiri dan hanya memperlihatkan saat mereka memilikinya.
Antibodi berkembang satu hingga tiga pekan setelah seseorang tertular virus, dan tinggal di dalam tubuh selama berbulan-bulan.
“Sistem surveilans resmi kami tidak dapat mendeteksi kasus Covid-19. Ini lemah,” kata peneliti utama studi UI, Tri Yunis Miko Wahyono, namun tidak berwenang mengkonfirmasi angka tadi.
Terpisah, hasil awal dari studi seroprevalensi di Bali yang dilakukan Universitas Udayana, menemukan 17% dari mereka yang diuji pada September dan November tampaknya telah terinfeksi, kata peneliti utama Anak Agung Sagung Sawitri kepada Reuters.
Angka itu 53 kali lebih banyak dibandingkan tingkat infeksi yang tercatat secara resmi, ketika pulau itu direncanakan buka kembali untuk pengunjung internasional mulai bulan depan.
Meski demikian, beberapa pakar kesehatan, akademisi, dan aktivis menentang rencana pembukaan kembali tersebut. “Testing, tracing, isolasi dan karantina sangat-sangat lemah di Bali,” kata Ady Wirawan.