Pekanbaru,Gatra.com- Koalisi eyes of forest (EoF) mendesak perusahaan kelapa sawit setop jadi penadah sawit haram. Selain itu koalisi Eof menyarankan agar perusahaan mulai membayar kerusakan hutan di masa lalu. Dalam temuan terbarunya, koalisi mencatat hanya 0,8 juta hektare kebun sawit di Riau yang bisa dikatakan legal. Angka tersebut setara dengan 14 persen dari 3,3 juta hektare luasan kebun sawit di Riau. Temuan ini merisaukan, mengingat Riau menjadi salah satu tumpuan utama produksi minyak sawit nasional
Atas temuan tersebut, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)Riau, Riko Kurniawan, menyerukan para pembeli minyak sawit dapat lebih serius menerapkan tinjauan legalitas sumber bahan bahan baku. "Kami merekomendasikan para pembeli dan pedagang global untuk fokus pada pelaksanaan kebijakan dalam menelusuri produk-produk mereka menuju tingkat perkebunan, mengidentifikasi legalitasnya, dan mengambil bahan baku di tempat lainnya jika ketahuan ilegal, kata Riko Kurniawan, melalui keterangan tertulis, Kamis (3/6).
WALHI sendiri merupakan salah satu anggota koalisi Eof bersama Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dan World Wild Fund (WWF). Koalisi ini fokus mengatamati kondisi hutan di Pulau Sumatera, khususnya Riau. Dikatakan Riko, isu legalitas produk sesungguhnya bukan hal baru di industri kelapa sawit. Hanya saja, isu tersebut cenderung diabaikan oleh rantai pasok bagian hilir industri kepala sawit.
Investigasi Eof antara Mei dan November 2019 mendapati Tandan Buah Segar (TBS) yang ditanami ilegal oleh 43 perkebunan sawit ilegal, telah dibeli oleh 15 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) mencakup grup-grup Darmex, First Resources, Incasi Raya, Jhagdra, Mitra Agung Sawita Sejati dan Royal Golden Eagle.
Sementara itu Koordinator Jikalahari, Made Ali, menilai upaya meredam kebun sawit ilegal mendapat tantangan dari penerapan regulasi omnibus law. Koalisi pun beharap para pebisnis tidak seharusnya menganggap UU Omnibus law akan secara otomatis melegalkan semua kebun sawit yang ada saat ini.
Eof menilai banyak perkebunan ilegal yang tidak layak untuk mendapat kartu bebas dari penjara dan bahkan mereka ada yang layak untuk perlu menjalani sejumlah proses dan bahkan membayar biaya mahal atas pelanggaran yang dilakukan di masa silam.
Selain tantangan dari regulasi omnibus law, upaya meredam kebun sawit ilegal juga diperparah oleh upaya pelemahan lembaga anti korupsi. "Menanti omnibus Law membebaskan semua yang bersalah yang menghancurkan sumber daya alam negeri ini bukanlah satu opsi. Karena itu, kami mengimbau para pedagang, pembeli industri sawit, investor dan konsumen di seluruh dunia, untuk mengambil tindakan segera guna dengan memisahkan sumber dan investasi mereka dari ilegalitas berganda,"tekannya.
Keberadaan kebun sawit ilegal bukan saja merusak lingkungan setempat. Tapi, juga menimbulkan kerugian ekonomi. DPRD Riau pada tahun 2015 memperkirakan Bumi Lancang Kuning berpotensi kehilangan pajak sebesar Rp107 triliun per tahun dari 1,4 juta hektar kebun sawit tak berizin.