Jakarta, Gatra.com – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyatakan siaran televisi Indosiar akan mengganti pemeran Zahra di sinetron ‘Suara Hati Istri’ dalam tiga episode mendatang. Keputusan ini dilakukan Indosiar setelah menerima berbagai masukan publik atas sinetron tersebut.
Diketahui, sinetron itu menuai banyak kritik lantaran menampilkan artis berusia 15 tahun yang berperan sebagai istri ketiga. Selain itu, juga ada beberapa adegan mesra yang melibatkan artis di bawah umur tadi.
Berdasarkan klarifikasi yang disampaikan Direktur Program Indosiar Harsiwi Ahmad kepada KPI, Indosiar akan selalu mengingatkan rumah produksi agar menggunakan artis berusia di atas 18 tahun untuk membawakan peran tokoh yang sudah menikah. Stasiun televisi swasta ini berjanji akan memperhatikan muatan cerita dalam setiap produksi program siaran.
Sementara itu, Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan, Nuning Rodiyah menegaskan bahwa evaluasi terhadap sinetron ‘Suara Hati Istri’ harus dilakukan secara menyeluruh, baik dari sisi pemeran ataupun tema cerita. Dia menambahkan, KPI berkepentingan untuk memastikan layar kaca mengedepankan prinsip perlindungan anak.
“Jangan sampai ada hak anak yang terlanggar karena televisi abai dengan prinsip tersebut. KPI akan segera memanggil pihak rumah produksi dan Indosiar, untuk memastikan perbaikan yang dilakukan telah berjalan baik,” kata Nuning dalam keterangannya, Kamis (3/6).
Hingga kini, kata Nuning, sinetron masih menjadi program siaran yang mendapatkan perhatian publik paling besar. Karena itu, dia berharap sinetron tidak menyebarluaskan praktek hidup yang dapat merugikan kepentingan anak Indonesia.
“Semoga kasus ini juga dapat menjadi koreksi pada semua lembaga penyiaran untuk lebih ketat lagi dalam melakukan kontrol atas kualitas program yang dihadirkan ke tengah masyarakat,” tambahnya.
Sebelumnya, Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar menemukan beberapa aspek pelanggaran dalam produksi sinetron tersebut. Dia menilai, tokoh istri yang diperankan pemain usia anak merupakan bentuk stimulasi pernikahan usia dini yang bertentangan dengan program pemerintah, khususnya UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
“Sinetron tadi juga memperlihatkan kekerasan psikis berupa bentakan dan makian dari pemeran pria, dan pemaksaan melakukan hubungan seksual. Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 66C UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,” tambahnya.
Nahar menuturkan tayangan ini secara tidak langsung akan memengaruhi kondisi psikologis masyarakat dan menimbulkan toxic masculinity, yang akan membangun konstruksi sosial di masyarakat bahwa pria identik dengan kekerasan, agresif secara seksual, dan merendahkan perempuan.