Manokwari, Gatra.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta agar masyarakat adat Papua mendapat prioritas dalam pengelolaan lahan eks konsesi sawit.
“KPK melakukan kajian SDA sudah lama sekali. Salah satu temuan kajian waktu itu, baru kita ketahui sejak Indonesia merdeka, baru 11% dari 124 juta hektare hutan yang dikukuhkan. Artinya, ada banyak potensi korupsi dan moral hazard di sana.” ujar Ketua Satuan Tugas Koordinasi Supervisi Pencegahan Wilayah V KPK, Dian Patria, dalam rapat koordinasi (rakor) Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Provinsi Papua Barat, Rabu (2/6).
Dian menjelaskan, KPK melakukan beberapa kajian terkait SDA dan menemukan permasalahan tidak hanya terkait kawasan hutan tetapi juga pertambangan, perkebunan, dan lain sebagainya, termasuk sawit. KPK menilai masih banyak diperlukan pembenahan di sektor SDA.
“Kenapa KPK masuk ikut mengurusi sektor ini? Waktu itu kita punya data 11 ribu izin usaha pertambangan di mana 6.500 di antaranya sudah dicabut. Namun kami juga menemukan banyak ketidaksesuaian data lainnya dan potensi pelanggaran atau penyimpangan sangat besar. Istilahnya KPK masuk beyond corruption, karena biasanya di balik penyimpangan ada korupsi. Kita dorong di perbaikan sistem,” ujar Dian.
Lebih lanjut, KPK mengapresiasi evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang telah disepakati oleh 8 kabupaten dan provinsi di Papua Barat untuk menyelamatkan kawasan hutan. Total luas wilayah konsesi yang dievaluasi mencapai 646 ribu hektare.
Salah satu rekomendasi dari hasil evaluasi adalah pemberian sanksi sampai dengan pencabutan izin 24 perusahaan. Per 2 Juni 2021, sebanyak 14 izin konsesi perkebunan kelapa sawit dengan luas 312 ribu hektare telah dicabut.
KPK berharap, rencana aksi yang dilakukan tidak berhenti hanya di pencabutan perizinan. Sebagai langkah selanjutnya, KPK berharap perlu sinergi intensif para pihak dalam mendukung prioritas pengelolaan wilayah eks konsesi sawit ini oleh masyarakat adat karena ujung dari pemberantasan korupsi adalah kesejahteraan rakyat.
“Kegiatan ini belum ada contohnya di daerah lain. Kita harus gerak cepat karena masyarakat sudah menunggu. Di atas kertas kita dorong, tetapi di lapangan juga kita pastikan beres masalahnya. Kita kunci wilayah, lakukan pemetaan marga dan pastikan ada peraturan. Lalu secara paralel kita siapkan masyarakat adat untuk pengelolaan ke depan berbasis kearifan lokal, biodiversity dan sustainability,” katanya.