Jakarta, Gatra.com - Wacana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) mulai ramai diwacanakan sejak akhir tahun 2019 hingga sekarang. Meski demikian, pembahasan tersebut bukanlah wacana baru. Tercatat, wacana pembangunan PLTN mulai diperbincangkan pada era 1970-an.
Analis Energi, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Elrika Hamdi, mengatakan, wacana PLTN seabagi sumber energi listrik juga menjadi diskursus, tidak hanya di Indonesia, tetapi mencakup negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Namun, banyak negara seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam, tengah menunda perbincangan dan implementasi pembangunan tenaga nuklir mereka. Berbeda dengan Indonesia dan Filipina.
Menurut Elrika, Filipina berencana melanjutkan kembali pembangunan dan operasional PLTN, dan Indonesia tengah merancang Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang memuat tentang pembangunan energi nuklir di dalamnya.
Kendati menurut Elrika, belum ada kejelasan yang pasti tentang pembangunan energi nuklir di RUU tersebut. Pemerintah Indonesia sendiri dilaporkan tengah melakukan penelitian guna pembangunan tersebut. Dalam catatan IEEFA, pemerintah tengah melakukan studi di tiga tempat: Muria, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat.
Erlika melanjutkan, Indonesia perlu memerhatikan pembangunan tersebut secara cermat dan teliti. Menurut catatannya sendiri, sudah banyak negara-negara di dunia yang mengalami kecelakaan nuklir. Dan jika sampai itu terjadi, biaya yang dikeluarkan tidaklah sedikit.
Pembangkit nuklir memang dipandang sebagai sebuah sumber energi yang rendah emisi. Nuklir dapat menjadi beban listrik dasar pengganti batubara. "Secara operasional cost lebih murah karena fuel-nya tidak senaik turun batubara dan oil-gas," ujar Elrika pada telekonferensi pers IEEFA, Rabu (2/6).
Namun, probabilitas kecelakaan serius, menurut Elrika bisa 200 kali lipat. Dari 442 PLTN yang aktif di seluruh dunia, ada kemungkinan terjadi major accident dalam 10-20 tahun ke depan. Artinya, masalah keamanan merupakan masalah utama dalam pembangunan dan operasional PLTN.
Sedikitnya, ada tiga kecelakaan nuklir terbesar di dunia. Dalam kasus Three mile Island, biaya kecelakaan pembangkit tenaga nuklir mencapai US$1 miliar sepanjang 14 tahun; biaya kecelakaan dalam tragedi Chernobyl mencapai US$700 miliar sepanjang 30 tahun; dan biaya kecelakaan dalam kasus Fukushima mencapai US$200 miliar sepanjang 30 tahun.
"Biaya-biaya ini awalnya ditanggung oleh operator nuklir, tetapi akhirnya pakai dana pemerintah juga yang didapat dari pajak," Elrika berkata.
Dengan banyaknya kecelakaan yang berdampak luas, dan menelan biaya tak sedikit, banyak negara yang akhirnya keluar dari penggunaan tenaga nuklir. Sebut saja Jerman dan Korea Selatan. Sementara Prancis memilih untuk melakukan mix energy dengan proporsi tenaga nuklir di kisaran 50 persen.