Jakarta, Gatra.com – The Conjuring: The Devil Made Me Do It akhirnya meluncur ke layar lebar Indonesia mulai hari ini, 2 Juni 2021 ini. Film yang disutradarai oleh Michael Chaves tersebut adalah yang ketiga dari seri The Conjuring dan yang ketujuh dalam Conjuring Universe bersama The Nun dan tiga film Annabelle.
The Conjuring: The Devil Made Me Do It menyuguhkan tensi tinggi sejak menit pertama. Ed Warren (diperankan oleh Patrick Wilson) dan Lorraine Warren (Vera Farmiga) berupaya menjalankan ritual eksorsis di rumah keluarga Glatzel di Connecticut, Amerika Serikat. Pasalnya, anak kedua dari keluarga tersebut, yaitu bocah laki-laki bernama David (Julian Hilliard), kerasukan setan yang masih belum bisa teridentifikasi dari mana asalnya.
Dengan satu dan lain cara, iblis tersebut akhirnya terlempar keluar dari tubuh David. Namun, ketenteraman hidup bagi David adalah petaka bagi salah satu orang terdekatnya. Arne Johnson (Ruairi O’Connor), kekasih Debbie Glatzel (Sarah Catherine Hook) selaku kakak perempuan David, harus menerima kesengsaraan hidup karena sang iblis beranjak dari tubuh si bocah ke dalam tubuhnya.
Berada di bawah kontrol sang iblis, Arne menancapkan sebanyak 22 tusukan ke tubuh seorang tuan tanah bernama Bruno Sauls (Ronnie Gene Blevins). Atas perbuatannya tersebut, ia kemudian didakwa melakukan pembunuhan berat dan harus pasrah mendekam di balik jeruji besi.
Meski demikian, pada saat persidangan, keluarga Glatzel bersama pengacaranya mengajukan pembelaan di hadapan hakim bahwa sang pembunuh sesungguhnya bukanlah Arne, melainkan sang iblis yang sedang menempeli tubuhnya. Pembelaan tersebut dipandang sinis oleh para hakim. Sang pengacara bahkan mengungkapkannya secara terbata-bata dan penuh ragu.
Pembelaan tersebut disarankan oleh eksorsisor Ed dan Lorraine kepada sang pengacara. Ide ini dinilai gila, tetapi mereka meminta kesempatan untuk membuktikan kegilaannya. Alih-alih berperan sebagai pengusir setan, duo cenayang tersebut dalam tugasnya kali ini lebih banyak berperan sebagai detektif, mengaitkan satu kejadian dengan kejadian lainnya, lengkap dengan peta ide yang tertancap di dinding kantor seperti yang biasa ditemui pada film-film Sherlock Holmes.
Ed dan Lorraine tetap memegang permainan kunci dalam film yang diproduseri oleh James Wan dan Peter Safran tersebut. Hanya melalui keterlibatan mereka berdua dari satu plot ke plot lainnya penggemar bisa menyaksikan kehadiran iblis-iblis menyeramkan. Dengan setumpuk pengalamannya sebagai investigator kegaiban, mereka begitu diandalkan untuk mengidentifikasi asal-usul kutukan yang menimpa keluarga Glatzel.
The Conjuring: The Devil Made Me Do It semacam meminimalisir penampakan-penampakan hantu jahil yang menepuk tangan di tengah-tengah permainan petak umpet, yang menarik kaki bocah yang sedang tertidur lelap, atau yang iseng menyalakan sirine mobil mainan di tengah malam buta. Yang menjadi suguhan utama kali ini justru adalah perang ilmu hitam antara Ed dan Lorraine yang sedang membantu keluarga Glatzel melawan kekuatan astral yang berasal dari suatu terowongan bawah tanah tersembunyi.
Rumah angker keluarga Glatzel pun bukan menjadi objek utama investigasi. Fokus utamanya adalah mencari tahu pelaku utama di balik pembunuhan yang dilakukan Arne. Film ini seakan-akan berusaha menghindari klise-klise klasik yang biasa dihidangkan film-flim horor mainstream. Meski demikian, sejumlah klise tetap tak terhindarkan hadir dan menjadi bumbu-bumbu cerita. Misalnya saat si bocah David pertama kali kerasukan setelah pindah ke rumah baru.
Plot penggerak ceritanya pun kental dengan klise kehilangan kontrol psikologis ketika melakukan pembunuhan, dimana Arne diklaim melakukan pembunuhan saat sedang berada di bawah kontrol iblis. Ini seklasik pembantaian pemilik rumah gadai dalam cerita Crime and Punishment.
Selain itu, dari segi plot, film ini juga menambahkan unsur-unsur kecil berupa cuplikan-cuplikan flashback di dalamnya. Namun, unsur-unsur kecil itu pada akhirnya berperan besar dalam kepaduan seluruh cerita.
Karena film ini berdasar pada kisah nyata yang terjadi pada 1981 di Amerika Serikat, ini adalah pertama kalinya di mana kerasukan iblis dijadikan pledoi di dalam sebuah persidangan dalam sejarah hukum Negeri Paman Sam.