Jakarta, Gatra.com - Direktur CESDA, Pusat studi Hukum dan Hak Asasi Manuia (HAM) LP3ES Herlambang P. Wiratman menyebutkan bahwa gagasan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate untuk memasukkan pasal pidana ke Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah sebuah masalah.
Pasal Pidana ini menurut Herlambang hanya menarasikan pasal 14 dan pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum pidana. Herlambang menyebutkan bahwa hal ini menjadi bagian dari Cyber Dependent Crimes yang akan multitafsir.
Selain itu, upaya ini menurutnya jauh dari standar hak asasi manusia. “Dan jauh dari standar hak asasi manusia dan prakteknya akan sangat mudah abusif apalagi dengan ancaman hukuman yang besar,” ucap Herlambang dalam webinar bertajuk “Revisi UU ITE, Kebijakan digital dan kemunduran Demokrasi” yang disiarkan di Youtuber Humas Komnas HAM RI pada Senin (31/05).
Pemerintah membentuk Tim Pelaksana Kajian UU ITE yang ditetapkan pada 22 Februari 2021. Tim kajian ini melibatkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Koordinator Bidang politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) dan Kementerian Hukum dsn Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang terdiri dari 2 subdit.
Herlambang menuturkan bahwa tim kajian menyandarkan persoalan pada penafsiran UU ITE. Menurutnya, permasalahan yang lebih mendasar adalah UU ITE itu sendiri.
“Padahal problem yang lebih mendasar adalah undang-undang itu sendiri sudah bermasalah, bukan penegakan hukumnya yang bermasalah, tapi undang-undang sendiri itu yang bermasalah,”ujar Herlambang di kesempatan yang sama.
UU ITE, kata Herlambang, mencampuradukkan cyber enabled crime dan cyber dependent crime. Ia berujar bahwa tafsiran kedua hal ini missused atau abusif dan tidak memberikan keadilan bagi publik atas kasus seperti tuduhan hate speech dan kabar bohong.