Jakarta, Gatra.com- Andrisen Ulipi, eks pelaut migran perikanan asal Pemalang, Jawa Tengah, menceritakan bahwa perjuangannya sebagai Anak Buah Kapal (ABK) Han Rong 363 asal Cina untuk pulang ke Tanah Air menemui jalan bergelombang lantaran ia harus meladeni kapten dan mandor kapal yang berwatak keras.
“Prosesnya [kepulangan ke Indonesia] panjang,” ujar Ulipi saat menceritakan pengalamannya dalam webinar bertajuk Forced Labour at Sea: The Case of Indonesia Migrant Fishers yang digelar oleh Greenpeace Indonesia pada Senin, (31/5).
Ulipi dan ABK Indonesia lainnya menderita selama kurang lebih lima bulan di atas kapal Han Rong 363 pada tahun 2019. Mereka memperoleh perlakuan semena-mena dari para petinggi kapal, termasuk pemberlakuan jam kerja yang melebihi batas waktu kerja normal, pemberian makanan yang tidak layak, hingga kekerasan fisik.
Itulah yang mendasari kepulangan Ulipi dan ABK lainnya ke Tanah Air. Meski demikian, permintaan untuk pulang ke kampung halaman tak segera terkabul begitu saja. Mereka harus berhadapan dulu dengan kapten dan mandor kapal.
Sang kapten menolak memberi izin pulang kepada Ulipi dan kawan-kawannya. Para ABK berontak. Berbaku hantamlah mereka dengan para petinggi kapal dari Cina tersebut, terutama dengan sang mandor. “Kami nggak keburu bangun pas terdengar bel [untuk bangun tidur]. Ada yang masuk terus ketok-ketok pintu. Mandornya masuk. Pas mandornya masuk dia langsung mukul. Di situ aku sama mandornya ya berantem dikit lah,” tutur Ulipi.
“Kaptennya nggak [melakukan kekerasan], mandornya mukulin pas kita tidur. Dia mukulnya ke aku karena aku tidurnya dekat pintu. Di situ cekcok dikit lah sama mandornya. Kita di sini cari kerja, bukan mau diperbudak,” imbuh Ulipi.
Kepulangan ke Tanah Air sedikit demi sedikit kian menjadi kenyataan. Pada akhirnya, mereka diizinkan pulang dengan menumpang kapal Ocean Star. Di dalam kapal tersebut terdapat ABK Han Rong 363 sebanyak tiga orang, termasuk Ulipi, sementara sekitar 26 orang lainnya berasal dari kapal yang berbeda.
Menumpang di Ocean Star tak berarti perjalanan pulang mulus-mulus saja. Ulipi mengaku bahwa ia mendapat perlakuan yang kurang lebih sama tercelanya seperti yang ia alami selama melaut di atas kapal Han Rong 363. “Pas di Ocean Star juga diperbudak. Orang Cina ngasih air ke kami dua hari sekali. Emangnya kami ayam?” tutur Ulipi.
Selama sepekan lebih di atas Ocean Star, mereka juga ditekan untuk bekerja. Namun, mereka menolak. Alasannya adalah mereka tak bisa bekerja kalau perut tak terisi. “Masa kami kerja dalam keadaan perut kosong? Itu alasan kami menolak kerja,” ujar Ulipi.
Selain diperlakukan seenaknya, selama di Ocean Star, Ulipi juga menyaksikan kehadiran mayat ABK Cina di dalam kapal. Batinnya berontak. Ia membuat skenario sendiri dalam kepalanya mengenai apa yang terjadi apabila mayat yang disaksikannya tersebut berkewarganegaraan Indonesia.
“Coba kalau ABK Indonesia, pasti dibuang ke laut dengan alasan ini itu. Padahal orang Indonesia sama Cina, kan, tubuhnya sama. Masa mayat Cina mau dibawa pulang kampung ke Cina pakai kapal Ocean Star, sementara ABK Indonesia yang meninggal enggak?” tutur Ulipi.
Ocean Star tak mengantar Ulipi dan kawan-kawannya pulang langsung ke Indonesia. Mereka dilabuhkan di Singapura. Selama sehari semalam mereka harus terdampar di sana. Mau tak mau mereka harus bermalam di Bandara Changi dan tidur di atas kursi, di kolong kursi, atau di sudut-sudut bandara.
“Kami di Singapura dikasih uang sama agennya satu orang 50 dolar. Sehari semalem kami di sana. Pokoknya agennya cuma ngasih uang, udah [langsung] hilang dia,” ujar Ulipi.
Untungnya, Ulipi menyebut bahwa salah satu kawannya menghubungi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). SBMI kemudian langsung menjemput mereka ke bandara tersebut. Dengan bantuan mereka, Ulipi dan kawan-kawannya akhirnya kembali menghirup udara segar kampung halamannya masing-masing.