Home Internasional Perbudakan Laut: Cerita Pilu ABK Indonesia di Kapal China

Perbudakan Laut: Cerita Pilu ABK Indonesia di Kapal China

Jakarta, Gatra.com – Pada mulanya, Andrisen Ulipi mendaftarkan diri untuk menjadi pelaut migran perikanan ke PT Baruna Jaya Sentosa di Pemalang, Jawa Tengah pada tahun 2019. Setelah mendaftarkan diri, ia kemudian dikirim ke negeri tetangga, Singapura.

Sesampainya di sana, Ulipi ditugaskan untuk melaut di sebuah kapal trawl berbendera China bernama Han Rong 363. Ia tak sendiri. Ia ditemani sebanyak 15 Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia lainnya yang di kemudian waktu, disebabkan oleh satu dan lain hal yang Ulipi pun tak paham apa alasan di baliknya, dipindahkan ke kapal lain. Dari sinilah cerita pilu itu bermula.

Han Rong 363 diarahkan ke laut Arab. Para ABK segera diperintahkan untuk menangkap ikan. Sebagian ditugaskan memancing dengan alat pancing dasaran, sebagian lainnya menggunakan jaring.

Ulipi kemudian mulai mampu mendeteksi hadirnya kejanggalan-kejanggalan. “Jam kerja nggak sesuai, terus dikasih makan segitunya. Persis kaya kasih makan binatang gitu,” ujarnya, seperti yang ia sampaikan dalam sebuah webinar yang digelar Greenpeace pada Senin, (31/5).

Soal jam kerja, Ulipi mengungkapkan bahwa jam kerja dan jam istirahat tiada bedanya. “Ada kerja atau engga ada kerjaan sama aja. Itu jam kerja mulai dari jam 5 sampe jam 5 lagi. Kalau cuminya banyak dari jam 5 [sore] sampai jam 12 siang lagi. Pokoknya udah melewati batas maksimum jam kerja,” tuturnya.

Ulipi tak lupa menuturkan bahwa beberapa kawan ABK-nya sempat mengalami kesakitan dan kelelahan fisik yang luar biasa. Ia mengingat salah satu kawannya yang mengeluarkan darah dari hidung.

Dalam kondisi yang terpuruk itu, suara keroncongan dalam perut para ABK pun meronta-ronta meminta asupan makanan. Hanya saja, para petinggi kapal tak memberikan persediaan makanan yang layak. Di tengah-tengah ketidakberdayaan itu, para ABK pun berontak melawan.

“Ya, otomatis kami marah, lah. Kami berontak di situ. Yang awal ngajak berontak itu saya. Kawan-kawan saya ikut,” tutur Ulipi.

Selain soal jam kerja dan ketersediaan makanan, Ulipi mencurigai satu kejanggalan lain. Ia bertanya-tanya mengenai alasan ketika sang kapten memintanya untuk menghapus identitas kapal.

“Aku di bagian haluan sama temanku. [Kemudian aku] disuruh kaptennya. Katanya, ‘Kamu turun buat hilangin nama kapalnya.’ Terus aku nanya, ‘Kenapa mau dihilangin? Emangnya kita mau ke mana?’” tutur Ulipi.

Ulipi kemudian menduga kalau kapal yang ditumpanginya ini merupakan kapal abal-abal. “Ini kapal bodong. Bayangkan, nama kapalnya aja dihapus. Katanya untuk hilangin jejak gitulah. Orang awam juga pasti ngerti,” ujarnya.

Setelah menderita selama berbulan-bulan di lautan, Ulipi dan ABK lainnya memutuskan untuk pulang ke Tanah Air. Meski demikian, permintaan untuk pulang ke kampung halaman tak segera terkabul begitu saja. Mereka harus berhadapan dulu dengan kapten dan mandor kapal.

Sang kapten menolak memberi izin pulang kepada Ulipi dan kawan-kawannya. Para ABK berontak lagi. Berbaku hantamlah mereka dengan para petinggi kapal dari China tersebut, terutama dengan sang mandor.

“Kami nggak keburu bangun pas terdengar bel [untuk bangun tidur]. Ada yang masuk terus ketok-ketok pintu. Mandornya masuk. Pas mandornya masuk dia langsung mukul. Di situ aku sama mandornya ya berantem dikit lah,” tutur Ulipi.

“Kaptennya nggak [melakukan kekerasan], mandornya mukulin pas kita tidur. Dia mukulnya ke aku karena aku tidurnya dekat pintu. Di situ cekcok dikit lah sama mandornya. Kita di sini cari kerja, bukan mau diperbudak,” imbuh Ulipi.

Kepulangan ke Tanah Air sedikit demi sedikit kain menjadi kenyataan. Pada akhirnya, mereka diizinkan pulang dengan menumpang kapal Ocean Star. Di dalam kapal tersebut terdapat ABK Han Rong 363 sebanyak tiga orang, termasuk Ulipi, sementara sekitar 26 orang lainnya berasal dari kapal yang berbeda.

Ulipi akhirnya sampai di kampung halamannya di Pemalang berkat bantuan dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) walau ia dan kawan-kawannya harus terdampar dulu di Singapura selama sehari semalam.

Ulipi bersyukur derita perbudakan laut yang dialaminya di atas Han Rong 363 tidak berlangsung lebih dari lima bulan.

 

1407