Jakarta, Gatra.com - Tragedi tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 beberapa waktu lalu, menimbulkan dorongan agar pemerintah melakukan modernisasi alutsista milik TNI. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto telah mengemukakan rencana tersebut di berbagai kesempatan. Pihaknya menyatakan, akan menyusun masterplan alutsista selama 25 tahun yang menjadi mandat khusus dari Presiden Jokowi.
Anggota Komisi I DPR, Mayjen TNI (Purn.) TB Hasanuddin mengungkapkan bahwa pemerintah tengah merancang peraturan presiden (Perpres) masterplan modernisasi alutsista selama 25 tahun yang dilakukan dengan skema pinjaman luar negeri dengan jumlah kurang lebih Rp1.760 triliun.
Legislator asal PDI Perjuangan itu menyebut selama ini terjadi dilema di dunia pertahanan. Saat negara ingin memperbesar kekuatan pertahanannya, maka muncul pertimbangan untuk memilih antara kesejahteraan masyarakat dengan pertahanan negara, yang membutuhkan anggaran yang besar. “Itulah yang menyebabkan pemerintah memiliki keterbatasan dalam memenuhi alutsista berteknologi tinggi seperti pesawat tempur dan kapal selam,” ujarnya.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, jika rancangan masterplan 25 tahun itu disetujui presiden, maka Indonesia akan mampu mengejar target belanja pertahanan sekitar 1,5% dari PDB per tahun.
“Asumsinya, sebanyak 0,78% bersumber dari anggaran regular dan sekitar 0,7% bersumber dari pinjaman luar negeri. Dengan demikian, harapannya dilema yang dirasakan tadi dapat terjawab,” kata Khairul dalam keterangan tertulis.
Jika dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia 2020 yang mencapai Rp15.434,2 triliun, maka angka yang dialokasikan pemerintah untuk masterplan alutsista selama 25 tahun hanya berada di angka 11,4%.
Apalagi jika angka PDB Indonesia tahun lalu dikalikan 25 tahun sebagai asumsi, maka persentase jumlah yang direncanakan dari PDB akan tampak lebih kecil, hanya 0,7% setiap tahunnya.
“Artinya, jika rancangan masterplan itu dapat disetujui presiden, maka Indonesia akan mampu mengejar target belanja pertahanan sekitar 1,5% dari PDB per tahun,” ujar Khairul.
Ia menyebut asumsi anggaran yakni sebesar 0,78% bersumber dari anggaran regular dan sekitar 0,7% bersumber dari pinjaman luar negeri. “Dengan demikian, harapannya dilema yang dirasakan tadi dapat terjawab,” sambungnya.
Menurut Khairul, meskipun masterplan yang dimaksud masih belum disetujui presiden, namun hal ini menjadi “angin segar” atas persoalan keterbatasan anggaran yang saat ini dimiliki Indonesia.
“Namun demikian, perlu untuk diingatkan bahwa masterplan itu tetap harus dibarengi dengan sejumlah langkah untuk memastikan akuntabilitasnya,” katanya.
Setidaknya, ada empat hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, soal penguatan peran dan fungsi Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Kedua, pengaturan yang ketat mengenai keterlibatan pihak ketiga, agar dapat dijamin kapabilitas dan akuntabilitasnya.
“Ketiga, penyusunan indikator kemandirian industri pertahanan nasional yang dibangun dengan melihat proporsi kebutuhan,” ujar Khairul.
Keempat, perencanaan anggaran yang matang, berkesinambungan dan dengan prioritas yang terukur, hingga skema penahapan pengadaan jika anggaran terbatas.
“Terakhir, penyediaan dukungan anggaran yang proporsional untuk mendorong pengembangan riset termasuk di lingkungan perguruan tinggi dan pemberian insentif bagi industri pertahanan dalam negeri untuk melakukan inovasi,” katanya.
Presiden Jokowi menginginkan adanya perencanaan pengadaan alutsista dalam jangka waku 25 tahun. Oleh banyak pihak, bukan tidak mungkin, masterplan ini akan menggantikan Minimum Essential Force (MEF).
“Presiden telah memerintahkan saya tahun lalu untuk bersama-sama pimpinan TNI menyusun suatu masterplan, rencana induk 25 tahun yang memberi kepada kita suatu totalitas kemampuan pertahanan,” kata Prabowo.
Upaya modernisasi alutsista sejatinya sudah dilakukan pada 2007 melalui MEF atau kebutuhan pokok minimum. Namun, realisasinya hingga saat ini mengalami perlambatan.
Diketahui, MEF dibagi ke dalam beberapa tahap dengan jenjang waktu lima tahun. Tahap pertama dimulai pada 2010 - 2014, tahap kedua 2015 - 2019, dan seharusnya sudah mencapai 100% pada akhir tahap ketiga, yakni periode 2020 - 2024.
Namun, hingga kini pencapaian MEF masih berada di bawah 65% dari 75% yang ditargetkan pada 2019. Persoalan ini tidak lepas dari keterbatasan anggaran yang dimiliki otoritas pertahanan.
“Artinya, dibutuhkan perencanaan yang benar-benar komprehensif, didasarkan pada skala prioritas yang jelas, terukur, berkesinambungan, dan mengacu pada proyeksi bentuk dan tingkat ancaman di masa yang akan datang,” ujar Khairul.
Melihat lebih jauh ke dalam struktur APBN, belanja Kemhan memang termasuk belanja kementerian terbesar dalam 10 tahun terakhir. Pada 2021, Kemhan mendapatkan alokasi pagu belanja sebesar Rp136,99 triliun.
Namun, tidak semua untuk alutsista. Kemhan mengalokasikan pengadaan alutsista sebesar Rp9,3 triliun. Kemhan di samping itu berencana melakukan modernisasi serta pemeliharaan dan perawatan alutsista untuk TNI AD sebesar Rp2,65 triliun, TNI AL Rp3,75 triliun, dan TNI AU Rp1,19 triliun.
Meskipun anggarannya termasuk besar, sayangnya untuk alutsista ini Indonesia hanya mengalokasikan belanja militer 0,7% terhadap PDB. Sementara jika melihat Singapura, negara tersebut mengalokasikan 3,2% dari PDB anggaran militer.
Anggaran pertahanan Indonesia bahkan kalah jauh dari Singapura yang hanya berpenduduk 5,9 juta jiwa, namun memiliki 72.500 personel militer aktif, 312.500 personel cadangan, dan anggaran militer US$11.200 juta atau Rp162,7 triliun.
Juru Bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak mengakui, secara akumulatif, anggaran yang diplot untuk Kemhan memang lebih besar dari kementerian lain. Namun, duit itu ternyata masih harus dibagi lagi untuk 5 unit Organisasi (UP) yakni Kemhan, Mabes TNI, Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
"Jadi dari total anggaran 2021 kurang lebih 136 triliun itu terbagi ke 5 unit organisasi tersebut. Lebih dari 44 persennya sudah digunakan untuk belanja rutin prajurit dan pegawai," kata Dahnil.
Ia melanjutkan, persentase untuk belanja alutsista sendiri dari jumlah tersebut sebesar kurang lebih 10%. Alokasi itu jelas tidak cukup untuk membangun postur pertahanan negara seperti Indonesia.